Perkenalan pertama saya dengan publikasi internasional berawal dari keterpaksaan: terpaksa - harus - wajib, karena salah satu syarat kelulusan sekolah S3 saya adalah 2 publikasi di jurnal internasional. Tahun 2010 mulai menulis review paper yang ditugaskan oleh supervisor dengan minimum literatur yang dirujuk "more than fourty", yang ternyata luar biasa sulitnya. Perlu waktu 1 tahun lebih dengan berulang2 revisi dan asistensi, untuk bisa dinyatakan layak oleh beliau dan mendapat ijin untuk disubmit di jurnal. Pada saat itu tidak ada ketentuan jurnal harus terindeks dan syarat2 lain yang rumit seperti saat ini, sehingga saya memilih mengirim manuskrip tersebut ke sebuah jurnal yang tidak perlu membayar biaya penerbitan (alias gratis) karena universitas kami sudah berlangganan jurnal2 dari publisher tersebut. Nama jurnal itupun saya dapatkan dari e-mail pengumuman universitas beberapa hari sebelumnya, yang menyebutkan bahwa untuk submit dan mengunduh jurnal dari publisher tersebut tidak dipungut biaya. Satu-satunya pertimbangan saya mengirim manuscript ke jurnal tersebut hanya karena GRATIS, karena saat itu saya gak kenal apa itu indeks dan apa itu Quartile jurnal, yang penting dipublikasi supaya bisa lulus S3 😀.
Beruntungnyaaaaa, hanya dalam waktu relatif singkat (saya lupa tepatnya), manuskrip diterima tanpa revisi berarti, mungkin karena selama 1 tahun lebih sudah direview dan direvisi berulang kali oleh supervisor saya yang superrajin superbaik dan superpintar 💖*salim*. Saat itu sih ga pernah membayangkan kalo submit manuskrip dan publikasi adalah hal yang ga gampang, mengingat pengalaman pertama saya yang langsung diterima tanpa direvisi oleh si jurnal, mungkin saking senangnya jadi lupa kalo untuk nulis satu itu aja butuh setahun lebih yaaa....
Seiring dengan waktu saya menyelesaikan S3, berbagai publikasi-publikasi berikutnya juga menyusul sehingga di akhir masa studi terdapat 5 publikasi melalui jurnal dan 3 publikasi melalui konferensi, hal ini cukup menjadi nilai tambah pada saat viva (ujian lisan) karena penguji2 disertasi sangat mengapresiasi jumlah publikasi saya tersebut (8 judul dalam 3,5 tahun).
Singkat kata setelah kembali dari sekolah, publikasi2 tersebut (saat itu) masih dapat saya digunakan untuk mengurus kenaikan pangkat sehingga turunlah SK LK-550 saya. Dan sejak kembali ke kampus setelah sekolah, saya berusaha untuk membuat target menulis dan publikasi jurnal minimal 1 dalam setahun. Namun saat itupun saya belum kenal indeks2an, baik indeks jurnal maupun H indeks, sehingga tidak pernah bingung mencari jurnal terindeks sebagai tujuan publikasi, hanya saja ada sedikit perubahan target jurnal yang saya tuju yaitu saya berusaha mencari dan mengirim manuskrip saya ke jurnal OPEN ACCESS dan tentu saja yang gratis tis tis, mengingat saat itu neraca keuangan saya terbatas dan belum ada insentif publikasi dari institusi seperti saat ini 😇. Alasan OPEN ACCESS jurnal sebagai pilihan target publikasi adalah supaya tulisan bisa dibaca banyak orang dengan mudah (karena tidak perlu berlangganan jurnal tersebut untuk mengunduh tulisan maupun membaca tulisan secara lengkap) sehingga harapannya manfaat akan semakin luas. Pada saat itu sayapun belum kenal dengan sitasi dan H indeks, sehingga tidak pernah berharap paper saya banyak disitasi melalui jurnal jenis ini.
Beberapa tahun terakhir, terjadi perbedaan "tujuan" publikasi di jurnal internasional, hal ini tidak terlepas dari "target" peringkat - baik peringkat perguruan tinggi maupun peringkat negara berdasarkan jumlah tulisan yang dipublikasikan di jurnal terindeks. Tidak ada yang salah dengan pemeringkatan maupun perindeks-an, karena tentunya hal ini dapat menjadi "trigger" bagi para peneliti untuk giat menulis dan mempublikasikan tulisan. Namun sayangnya, hal ini juga dapat menyebabkan banyak penulis terobsesi untuk meningkatkan H_indeks demi "peringkat" (baca; ranking hehehe) penulis di dunia perindeks-an, sehingga ada penulis-penulis yang melakukan self-citation demi meningkatkan angka H_indeks mereka, hal ini sangat dimungkinkan karena H_indeks dapat diformulasikan perhitungannya. Selain itu, salah satu imbas pemeringkatan ini adalah mahalnya biaya publikasi di jurnal-jurnal terindeks dengan level Q yang tinggi karena demikian banyaknya tulisan yang "berkompetisi dan antre" untuk diterbitkan. Dan satu lagi imbas yang ditimbulkan dengan adanya perindeks-an (yang ini 100% menurut pendapat saya pribadi), karena demikian bergengsinya publikasi di jurnal dengan peringkat tinggi (terutama yang open access), maka tersedia dana insentif publikasi yang disediakan oleh institusi bagi penulis yang tulisannya dimuat di jurnal2 terindeks. Hal ini menjadikan penulis tidak keberatan membayar mahal untuk biaya publikasi di jurnal terindeks karena akan ada dana insentif yang nantinya diterima dari institusi, ini merupakan keuntungan ganda bagi penulis karena ga perlu mikir2 panjang untuk bayar mahal dan selain itu akan menaikkan "peringkat" penulis dengan publikasi di jurnal terindeks dengan peringkat atas. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi adalah hal lain yang muncul yaitu profesi penulis manuskrip pesanan, dimana peneliti hanya memberikan data-data hasil penelitian untuk dituliskan bahkan dibantu sampai dengan submit jurnal dan publikasi, dengan pembayaran honor berdasarkan prosentase dari nilai insentif publikasi yang nantinya didapat oleh peneliti dari institusinya. Meskipun hal ini mungkin tidak menyalahi aturan, namun tentunya sebagai peneliti sudah sepatutnya kita menuliskan hasil penelitian kita sehingga dapat dibaca orang banyak dan bermanfaat, dan bukan menyerahkan kepada orang lain untuk menulis dan memproses publikasinya dan menuliskan nama peneliti sebagai author 😀.
Berbagai hal diatas tentunya tidak perlu diperdebatkan manfaat maupun kerugiannya, karena memang dalam setiap hal selalu ada sisi positif dan negatif. Namun yang disayangkan adalah apabila kita terlalu berambisi untuk "mengejar" peringkat dunia tanpa mempertimbangkan bahwa ada banyak hal lain yang bisa kita raih dan akan dengan sendirinya menaikkan peringkat kita baik secara nasional maupun internasional, bahwa masih banyak potensi lain yang bisa kita kembangkan bukan hanya mengejar publikasi di level Q1 dengan mengeluarkan biaya mahal dan mengeluarkan biaya insentif publikasi yang besar. Karena kenyataanya masih banyak jurnal yang cukup baik untuk mempublikasikan hasil penelitian (meskipun levelnya bukan no. 1), namun tidak memerlukan biaya untuk publikasi. Dana publikasi maupun insentif publikasi yang dikeluarkan, dapat dialihkan untuk pengeluaran lain yang lebih bermanfaat, misalnya untuk melengkapi fasilitas penelitian/ instrumen laboratorium, sehingga dapat bermanfaat bagi banyak orang dan meningkatkan produktivitas penelitian (sebagai gambaran: bila dalam satu institusi terdapat 200 orang saja yang mempublikasikan tulisan di jurnal level Q1, maka dana insentif publikasi yang harus dibagikan adalah sebesar 200 x 25.000.000 rupiah = 5.000.000.000 rupiah = banyak yaaaa).
Semoga suatu saat nanti kita semua kembali menyadari, bahwa tujuan publikasi bukanlah untuk "pemeringkatan", "indeks", ataupun insentif publikasi, namun yang lebih penting adalah kemanfaatan hasil penelitian dan tulisan kita untuk orang lain, untuk dunia ilmiah, dan kemajuan ilmu pengetahuan bagi keberlangsungan kehidupan di dunia.
Selamat menulis, selamat menyebarkan manfaat ilmu dan pengetahuan. Sehebat apapun ilmu dan pengetahuan yang dimiliki, hanya akan bermanfaat bagi diri sendiri dan akan terkubur bersama pemiliknya. ilmu dan pengetahuan yang diabadikan dalam tulisan dan disebarluaskan, akan memberikan manfaat selama tulisan itu masih ada dan belum ada yang menggantikan.
catatan: gambar hanya ilustrasi yaaa 😅😅😅