Seorang kawan baik membagikan link note dengan judul “Apakah anakku harus jadi ranking 1?” http://bit,ly/zj48MU. Baru membaca judulnya saja saya langsung jawab: saya ga pernah menuntut anak2 untuk jadi no 1 di sekolah…karena itu bukan yang hal terpenting bagi saya. Namun demikian, note tersebut tetap saya baca, karena saya yakin selalu ada manfaat dari setiap hal, sekecil apapun. Setelah saya baca, saya forward link tersebut kepada beberapa kawan lain untuk sekedar berbagi kebaikan.
Bagi saya, nilai yang tercantum di raport hanyalah angka2 kuantitatif, dan hanya bisa menilai hal-hal yang kuantitatif tentunya, sedangkan bagian terpenting yang kualitatif tidak dapat dikuantifikasikan dan ditransfer dalam ranking. Kebanyakan orang tua lupa atau bahkan tidak menyadari, ada hal lain yang lebih penting daripada “hanya” ranking yang tercantum di dalam raport – setahu saya, saat ini di raport sudah tidak dicantumkan lagi urutan ranking – sedemikian pentingnya nilai raport seakan-akan dapat dijadikan jaminan untuk bisa mendapatkan kesuksesan di masa yang akan datang.
Kawan lain mengirimkan pesan singkat sebagai reply dari share link yang saya forward, kalimat yang saya ingat: aku konsisten ranking 10 besar dari bawah waktu smp-sma, but look what I become right now? I couldn’t be happier than what I am today, pengusaha sukses dalam usia yang relatif muda, dan tentu saja tidak ada kata gagal dalam kamusnya meskipun ga pernah ngincipi ranking 1.
Adalah hal yang wajar, sebagai orang tua ingin hal yang terbaik bagi anak mereka, dan juga disadari atau tidak, diakui maupun tidak, pasti juga berharap anak mereka jadi yang terbaik atau setidaknya punya hal yang bisa membanggakan….meskipun ukuran yang menjadi kebanggaan itu sangat relatif bagi setiap orang, namun ada kesepakatan tidak tertulis yang seringkali jadi ukuran: nilai raport dan ranking yang tertulis disitu. Seringkali terlewatkan bahwa banyak hal lain di luar penilaian dalam angka di raport yang jauh lebih penting dalam perjalanan dan pelajaran hidup anak mereka.
Seringkali orang tua hanya berpegang kepada ukuran umum, bahwa kesuksesan ialah hanya bila anak keliatan moncer secara akademik, atau paling tidak, punya prestasi lain dengan stempel juara, itulah ukuran prestasi yang bisa dibanggakan. Namun tidak memberikan perhatian untuk hal-hal lain yang tidak umum dijadikan ukuran prestasi. Kebanggaan kita sebagai orang tua, hanya berpegang pada prestasi umum yang terukur oleh kebanyakan orang.
Disadari atau tidak, walaupun pada awal cerita diatas saya katakan bahwa saya tidak menuntut anak-anak saya untuk jadi yang nomor 1, harus saya akui bahwa keinginan tersebut juga ada pada diri saya….anak saya punya prestasi akademik yang jempolan dan punya prestasi lain yang bisa dibanggakan. Rasa sedih, khawatir atau panik muncul bila mendengar berita bahwa anak2 saya harus ikut remedy atau mendapat nilai “jelek” dalam evaluasi di sekolah, perasaan-perasaan tersebut tentunya merupakan sinyal bahwa “tuntutan” itu ada pada saya.
Note pada link diatas, seakan mengingatkan saya, bahwa meskipun saya mengatakan tidak menuntut anak2 saya untuk menjadi nomor 1, tapi kenyataan yang saya lakukan justru sebaliknya. Saya memilih sekolah dasar yang pengantarnya berbahasa inggris….supaya anak2 saya lancar berbicara bahasa inggris meskipun alasan yang tertulis adalah agar anak-anak saya kelak tidak kesulitan dengan kemajuan yang menuntut kemampuan mereka berbahasa inggris, namun bangga punya anak yang “kecil-kecil bisa ngomong inggris dengan lancar” rasanya juga jadi salah satu alasan kuat
io, anak pertama saya, saya ikutkan les musik sejak usianya 4 tahun – mungkin bagi anak2 yang orang tua mereka pemain musik bukan hal yang aneh – tp anak-anak saya terlahir dari orang tua yang bukan pemusik meskipun dulu bapaknya sempat merasakan malang melintang di panggung-panggung musik kampus. Saya renungkan kembali alasan tidak tertulis les musik buat io mungkin karena obsesi orang tuanya yang menginginkan io jadi pemain musik yang beneran, bukan sekedar untuk bisa.
Kedua anak saya, io dan jati yang sudah duduk di bangku SD juga saya ikutkan les matematika, yang pada awalnya juga saya hanya menuruti permintaan mereka…(io lebih dulu dan kemudian adiknya menyusul). Tapi piala pertama io karena kemahirannya mengerjakan soal2 matematika, justru membuat saya terobsesi untuk mengumpulkan piala2 yang lebih banyak lagi – meskipun saya tidak menuntut – tapi kalimat saya: “kalo rajin nanti pialanya tambah lagi nak”, rasanya sudah cukup menjelaskan tuntutan saya, yang entah disadari atau tidak oleh saya dan io, memberikan tambahan beban di pundaknya. Dan tidak itu saja, jati yang “belum” merasakan mendapat piala seringkali mengucapkan kalimat: “pialaku belum ada” atau “aku juga mau piala”.
Tiga hal di atas, setidaknya bisa menjadi suatu catatan bagi diri saya sendiri, bahwa banyak hal yang tidak saya sadari sebelumnya - dan mungkin juga terjadi pada orang tua lain – bahwa saya “merasa” tidak menuntut anak2 untuk punya prestasi yang membanggakan sesuai ukuran umum, ternyata justru saya lakukan hal yang sebaliknya. Saya cenderung mengarahkan anak2 saya kepada hal-hal kuantitatif dan dapat dinilai sebagai suatu prestasi.
Sampai saat ini saya tidak melihat adanya suatu keterpaksaan dalam diri anak2 saya untuk melakukan semua kegiatan mereka (meskipun io juga kadang2 latihan musik sambil merengut), dan belum pernah saya dengar keluhan mereka atau keberatan mereka terhadap semua kegiatan yang mereka “pilih”, pun tidak saya lihat terjadinya penurunan berat badan dan kesehatan seperti cerita dalam note diatas. Namun membaca cerita tersebut membuka pikiran dan hati saya, untuk lebih jujur mengakui bahwa sekalipun saya merasa tidak menuntut anak2 untuk menjadi yang nomor satu, tapi saya mulai membebani mereka dengan suatu keharusan: harus bisa bahasa inggris, harus bisa main musik, harus pinter matematika.
Keharusan-keharusan tersebut memang bermuara kepada “sebagai bekal mereka kelak”, tapi kedepannya tidak boleh saya lupakan, banyak hal-hal lain yang harus lebih mendapat prioritas dan jadi ukuran dan target bagi saya untuk mempersiapkan anak2 saya kelak. Hal-hal yang bukan prestasi bagi ukuran umum dan tak kalah pentingnya bagi hidup mereka kelak…..
*anak-anakku, menjadi nomor 1 bidang akademik atau prestasi lain memang membanggakan bagi ibu, tapi tanpa itu semua, kalian tetap anak2 yang sudah membuat ibu bangga pada kalian, mudah2an ibu bisa menjadi ibu yang terbaik buat kalian…..selamanya.
Just prepare your children to be themselves...
Thanks to: Dedy Ardyan for sharing link-note Taman Tenaga C111
13 februari 2012