Masih tentang hiruk pikuk PPDB 2019, setelah tulisan saya sebelumnya terkait PPDB berdasarkan zonasi, perkembangan terbaru (info terbaru tentang PPDB 2019) mengenai PPDB zonasi mengalami sedikit perubahan, yaitu masih berlakunya sekolah khusus (yang pada PPDB sebelumnya dikenal sebagai sekolah kawasan). Seperti PPDB sebelumnya, metode penerimaan sekolah khusus tingkat SMP ini juga menggunakan nilai Tes Potensi Akademik (TPA) selain nilai UNAS, dengan prosentase yang belum ditentukan. Sedangkan untuk SMA, metode penerimaan kembali seperti 2 tahun terakhir yaitu menggunakan nilai UNAS, dan calon siswa boleh memilih salah satu sekolah di luar zona tempat tinggalnya. Hiruk pikuk kembali terjadi, terdapat yang pro dan kontra terhadap pengembalian aturan penerimaan siswa ini, pro bagi yang alamat tempat tinggalnya berada di luar zona sekolah-sekolah favorit, dan kontra bagi yang sebaliknya, karena merasa diuntungkan dengan adanya peraturan zonasi :)
Saya pribadi tidak ambil pusing dengan perubahan-perubahan mendadak yang dilakukan oleh pengambil kebijakan, mengingat kedua metode PPDB tersebut sama-sama mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing, dan tentu saja dapat menguntungkan maupun merugikan bagi anak-anak saya yang masih akan memasuki jenjang SMP (tahun ini) dan SMA (tahun depan). Namun tetap saja perubahan tersebut membuat saya kalangkabut mencari lembaga kursus untuk mempersiapkan anak bungsu saya menghadapi TPA yang mungkin diperlukannya bila nilai UNAS yang didapat mencapai rata-rata 8,5. Lembaga kursus TPA pun seperti mendapat angin segar dan segera melancarkan aksi propagandanya melalui berbagai media sosial. Berbagai penawaran bersliweran memenuhi grup-grup medsos orang tua calon siswa, dengan berbagai variasi harga yang ditawarkan, namun dari berbagai variasi tersebut ada satu kesamaan yaitu sama-sama mahal untuk ukuran rata-rata orang tua, bila dibandingkan dengan biaya sekolah SD selama 1 tahun :D. Bagi sebagian orang tua yang kebetulan memiliki keleluasaan dalam hal finansial, bisa jadi kebingungan mereka hanyalah memilih lembaga kursus yang dinilai paling tepat untuk membimbing anak-anak mereka. Namun bagi sebagian lainnya, kebingungan tersebut tentu ditambah dengan menyediakan biaya kursus yang tidak murah. Mengingat TPA ini tidaklah mudah bagi anak-anak usia SD yang belum pernah menghadapi dan belum disiapkan untuk ujian TPA.
Sebagai orang tua, lagi-lagi ego saya merasa kurang "pas" dengan aturan ujian TPA ini, bukan hanya karena "keharusan" mengeluarkan biaya les, namun juga mengingat anak-anak sudah bekerja keras berbulan-bulan untuk persiapan UNAS, kenapa harus dibebani lagi dengan ujian TPA yang notabene hanya punya waktu sebulan untuk persiapannya (belum dikurangi libur puasa dan lebaran), sehingga agak kurang fair bila penerimaan sekolah juga didasarkan pada nilai TPA ini. Selain itu, pemberitaan yang simpang siur dan perubahan metode penerimaan siswa juga membuat anak-anak sedikit mengalami kekacauan - kalau tidak boleh disebut shock - dan bingung serta kecewa, terutama yang sudah merasa diuntungkan dengan adanya sistem zonasi.
Terlepas dari semua hiruk pikuk PPDB 2019, memang harus disikapi dengan positif, karena pada prinsipnya metode zonasi cukup masuk akal untuk diterapkan dan tidak mengeksklusifkan sebagian sekolah tertentu yang masuk dalam kategori sekolah khusus, sehingga semua anak akan dapat menikmati pendidikan dengan kualitas yang sama dimanapun mereka bersekolah. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa, penerapan metode tersebut tidaklah dapat dilakukan semudah membalik telapak tangan, karena banyak yang harus dipersiapkan dengan matang sehingga tidak merugikan banyak pihak.
Surabaya, Sabtu 12 Mei 2019 pk. 18.50
Showing posts with label My Opinion. Show all posts
Showing posts with label My Opinion. Show all posts
Sunday, May 12, 2019
Thursday, April 18, 2019
hi...i'm back on 2019 - PPDB 2019
![]() |
2015 |
Hobi menulis saya kembali terusik sejak beberapa bulan terakhir, namun karena kendala-kendala teknis seperti lupa password, lupa cara buka akun, gaptek, gak paham gadget dsb. dsb., keinginan menulis jadi teralihkan. Pagi ini, lagi-lagi karena baca tulisan seorang kawan di akun medium-nya, saya jadi "berusaha keras" untuk membuka kembali blog saya yang sudah lama mati suri, dan semoga pagi ini menjadi penanda kembalinya saya di dunia blogger :)
Saya gak akan menulis tentang hiruk pikuk Pilpres dan pernik-perniknya, karena saya lebih tertarik berbicara tentang pendidikan, terutama pendidikan anak-anak saya yang masih di usia SD, SMP dan SMA. Beberapa waktu lalu saat saya mengantarkan si ganteng anak ke-2 berangkat sekolah, dengan wajah kecewanya si ganteng saya bilang: sekarang masuk SMA pake zonasi bu, aku lak gak bisa masuk SMA 2. Sekedar info saja, anak saya yang ke-2 ini cita-citanya jadi dokter yang pemain gitar, dan menjadi sangat terobsesi masuk SMA 2 yang merupakan salah satu sekolah SMA favorit di Surabaya dan notabene "ngetop" dengan kegiatan bermusik (sekolahnya penyanyi maupun pemusik ngetop seperti Ita Purnamasari, Dhani Ahmad, dll. - sepertinya kok saya cuma tau 2 itu ya :D). Dengan adanya Permendikbud No. 51 tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada TK, SD, SMP, SMA/ SMK, salah satunya adanya aturan penerimaan SMA yang tidak lagi mengacu nilai UN tapi berdasarkan jarak rumah dengan sekolah yang dibuktikan dengan alamat KK. Sehingga, anak-anak yang ortunya beralamat di "pinggiran" tidak bisa menikmati sekolah di "pusat" kota seperti SMA 2. Walaupun sampai saat ini belum ada kejelasan dan kepastian tentang pelaksanaan PPDB 2019, namun hal tersebut sudah menimbulkan keresahan di kalangan calon siswa dan terutama juga orang tuanya. Di sekolah anak saya SPENSIXpun demikian, meskipun anak saya masih duduk di kelas 8 (kelas 2 SMP), namun di setiap kesempatan temu ortu - baik yang dijadwal maupun tidak sengaja saat sama-sama menjemput di sekolah - topik PPDB zonasi ini menjadi pembicaraan utama. Terutama untuk para ortu yang KK nya di luar pusat kota yang tentu saja tidak masuk zonasi sekolah SMA favorit a.k.a. SMA kompleks.
Saya pribadi sebetunya sangat setuju dengan wacana pelaksanaan sistem PPDB zonasi ini, karena idealnya semua sekolah mempunyai "level" yang setara, tidak perlu ada sekolah favorit sehingga tidak perlu ada perebutan bangku sekolah, karena setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk bersekolah dan negara/ pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyediakan kualitas pendidikan yang sama (walaupun sulit). Namun, saat ini merk sekolah favorit masih menjadi target utama calon siswa, mengingat belum semua sekolah mempunyai kapasitas, fasilitas dan kualitas yang sama. Sehingga keresahan akan tidak dapat masuk di sekolah yang berkualitas - dan tentu saja bergengsi - menjadi salah satu pemicu penolakan atas peraturan baru PPDB ini, bahkan kami para ortu juga dengan sukarela ikut menandatangani petisi yang menyampaikan aspirasi calon siswa kepada pihak penentu kebijakan, yang tentu saja tidak menjamin dibatalkannya peraturan PPDB zonasi. Meskipun saya juga sebetulnya berharap anak saya bisa masuk ke SMA yang diinginkannya, terlepas apapun alasan yang mendasarinya.
Seperti pada umumnya aturan baru yang akan diberlakukan, huru-hara yang ditimbulkan terutama karena tidak ada sosialisasi yang jelas di awal, sehingga terasa sangat mendadak diimplementasikan dan mengakibatkan shock bagi komunitas yang terdampak. Namun saya juga sangat yakin, setelah berjalan 1 atau 2 periode, semua akan menjadi normal dan tidak ada yang merasa dirugikan. Sebagai gambaran, saat ini anak ke-2 saya yang sekolah di SPENSIX yang merupakan salah satu SMP favorit, harus berangkat sebelum pukul 6 pagi karena jarak rumah sekolah yang cukup jauh (9,8 km - google map) dan melewati jalan-jalan utama yang rawan macet, sedangkan di dekat rumah terdapat SMP lain yang jaraknya hanya 5 km dengan rute yang sangat aman dari risiko macet. Dan ternyata, kawan-kawan sekolahnya pun sangat beragam lokasi tempat tinggalnya, bahkan ada yang rumahnya di kawasan Sidoarjo, bisa dibayangkan pukul berapa harus berangkat dari rumah bisa jadi saat matahari masih setengah mata. Sehingga peraturan PPDB zonasi ini tentu akan banyak manfaatnya selain jarak tempuh rumah-sekolah yang dekat, tentunya akan menghemat tenaga/ energi dan biaya, anak menjadi lebih fresh tiba di sekolah, selain itu juga nantinya akan meningkatkan pemerataan kualitas sekolah, mengingat "murid-murid yang pinter" gak hanya terkonsentrasi di sekolah favorit, namun tersebar merata di seluruh penjuru kota. Selain itu, tidak akan ada lagi sekolah yang tidak dapat beroperasi karena tidak ada murid, dan mungkin masih banyak lagi hal positif yang mengikutinya. Karena sejatinya peraturan dibuat bukan untuk membatasi hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan setara, namun ditujukan untuk pemerataan kualitas dan pemerataan hak, meskipun saat ini terasa merugikan bagi banyak pihak (termasuk anak saya tentu saja). Kita tunggu saja bagaimana implementasi dan dampak yang terjadi, sambil berdoa tentu saja, yang terbaik bagi anak-anak kita semua. SEMOGA. oya satu lagi, untuk membesarkan hati anak saya, begini jawaban saya kemaren: tenang aja dik, sekolah SMA dimana aja sama karena yang utama adalah diri kita sendiri, justru nanti adik bisa makin "moncer" di SMA yang (dinilai) biasa-biasa aja karena mungkin temennya yang pinter-pinter gak sebanyak di sekolah favorit, selain itu juga yang penting adalah nanti kuliahnya di Kedokteran UNAIR (aamiiin yra).
Surabaya, Jumat 19 April 2019, 08.19
Thursday, February 16, 2012
ukuran sebuah "prestasi"
Seorang kawan baik membagikan link note dengan judul “Apakah anakku harus jadi ranking 1?” http://bit,ly/zj48MU. Baru membaca judulnya saja saya langsung jawab: saya ga pernah menuntut anak2 untuk jadi no 1 di sekolah…karena itu bukan yang hal terpenting bagi saya. Namun demikian, note tersebut tetap saya baca, karena saya yakin selalu ada manfaat dari setiap hal, sekecil apapun. Setelah saya baca, saya forward link tersebut kepada beberapa kawan lain untuk sekedar berbagi kebaikan.
Bagi saya, nilai yang tercantum di raport hanyalah angka2 kuantitatif, dan hanya bisa menilai hal-hal yang kuantitatif tentunya, sedangkan bagian terpenting yang kualitatif tidak dapat dikuantifikasikan dan ditransfer dalam ranking. Kebanyakan orang tua lupa atau bahkan tidak menyadari, ada hal lain yang lebih penting daripada “hanya” ranking yang tercantum di dalam raport – setahu saya, saat ini di raport sudah tidak dicantumkan lagi urutan ranking – sedemikian pentingnya nilai raport seakan-akan dapat dijadikan jaminan untuk bisa mendapatkan kesuksesan di masa yang akan datang.
Kawan lain mengirimkan pesan singkat sebagai reply dari share link yang saya forward, kalimat yang saya ingat: aku konsisten ranking 10 besar dari bawah waktu smp-sma, but look what I become right now? I couldn’t be happier than what I am today, pengusaha sukses dalam usia yang relatif muda, dan tentu saja tidak ada kata gagal dalam kamusnya meskipun ga pernah ngincipi ranking 1.
Adalah hal yang wajar, sebagai orang tua ingin hal yang terbaik bagi anak mereka, dan juga disadari atau tidak, diakui maupun tidak, pasti juga berharap anak mereka jadi yang terbaik atau setidaknya punya hal yang bisa membanggakan….meskipun ukuran yang menjadi kebanggaan itu sangat relatif bagi setiap orang, namun ada kesepakatan tidak tertulis yang seringkali jadi ukuran: nilai raport dan ranking yang tertulis disitu. Seringkali terlewatkan bahwa banyak hal lain di luar penilaian dalam angka di raport yang jauh lebih penting dalam perjalanan dan pelajaran hidup anak mereka.
Seringkali orang tua hanya berpegang kepada ukuran umum, bahwa kesuksesan ialah hanya bila anak keliatan moncer secara akademik, atau paling tidak, punya prestasi lain dengan stempel juara, itulah ukuran prestasi yang bisa dibanggakan. Namun tidak memberikan perhatian untuk hal-hal lain yang tidak umum dijadikan ukuran prestasi. Kebanggaan kita sebagai orang tua, hanya berpegang pada prestasi umum yang terukur oleh kebanyakan orang.
Disadari atau tidak, walaupun pada awal cerita diatas saya katakan bahwa saya tidak menuntut anak-anak saya untuk jadi yang nomor 1, harus saya akui bahwa keinginan tersebut juga ada pada diri saya….anak saya punya prestasi akademik yang jempolan dan punya prestasi lain yang bisa dibanggakan. Rasa sedih, khawatir atau panik muncul bila mendengar berita bahwa anak2 saya harus ikut remedy atau mendapat nilai “jelek” dalam evaluasi di sekolah, perasaan-perasaan tersebut tentunya merupakan sinyal bahwa “tuntutan” itu ada pada saya.
Note pada link diatas, seakan mengingatkan saya, bahwa meskipun saya mengatakan tidak menuntut anak2 saya untuk menjadi nomor 1, tapi kenyataan yang saya lakukan justru sebaliknya. Saya memilih sekolah dasar yang pengantarnya berbahasa inggris….supaya anak2 saya lancar berbicara bahasa inggris meskipun alasan yang tertulis adalah agar anak-anak saya kelak tidak kesulitan dengan kemajuan yang menuntut kemampuan mereka berbahasa inggris, namun bangga punya anak yang “kecil-kecil bisa ngomong inggris dengan lancar” rasanya juga jadi salah satu alasan kuat
io, anak pertama saya, saya ikutkan les musik sejak usianya 4 tahun – mungkin bagi anak2 yang orang tua mereka pemain musik bukan hal yang aneh – tp anak-anak saya terlahir dari orang tua yang bukan pemusik meskipun dulu bapaknya sempat merasakan malang melintang di panggung-panggung musik kampus. Saya renungkan kembali alasan tidak tertulis les musik buat io mungkin karena obsesi orang tuanya yang menginginkan io jadi pemain musik yang beneran, bukan sekedar untuk bisa.
Kedua anak saya, io dan jati yang sudah duduk di bangku SD juga saya ikutkan les matematika, yang pada awalnya juga saya hanya menuruti permintaan mereka…(io lebih dulu dan kemudian adiknya menyusul). Tapi piala pertama io karena kemahirannya mengerjakan soal2 matematika, justru membuat saya terobsesi untuk mengumpulkan piala2 yang lebih banyak lagi – meskipun saya tidak menuntut – tapi kalimat saya: “kalo rajin nanti pialanya tambah lagi nak”, rasanya sudah cukup menjelaskan tuntutan saya, yang entah disadari atau tidak oleh saya dan io, memberikan tambahan beban di pundaknya. Dan tidak itu saja, jati yang “belum” merasakan mendapat piala seringkali mengucapkan kalimat: “pialaku belum ada” atau “aku juga mau piala”.
Tiga hal di atas, setidaknya bisa menjadi suatu catatan bagi diri saya sendiri, bahwa banyak hal yang tidak saya sadari sebelumnya - dan mungkin juga terjadi pada orang tua lain – bahwa saya “merasa” tidak menuntut anak2 untuk punya prestasi yang membanggakan sesuai ukuran umum, ternyata justru saya lakukan hal yang sebaliknya. Saya cenderung mengarahkan anak2 saya kepada hal-hal kuantitatif dan dapat dinilai sebagai suatu prestasi.
Sampai saat ini saya tidak melihat adanya suatu keterpaksaan dalam diri anak2 saya untuk melakukan semua kegiatan mereka (meskipun io juga kadang2 latihan musik sambil merengut), dan belum pernah saya dengar keluhan mereka atau keberatan mereka terhadap semua kegiatan yang mereka “pilih”, pun tidak saya lihat terjadinya penurunan berat badan dan kesehatan seperti cerita dalam note diatas. Namun membaca cerita tersebut membuka pikiran dan hati saya, untuk lebih jujur mengakui bahwa sekalipun saya merasa tidak menuntut anak2 untuk menjadi yang nomor satu, tapi saya mulai membebani mereka dengan suatu keharusan: harus bisa bahasa inggris, harus bisa main musik, harus pinter matematika.
Keharusan-keharusan tersebut memang bermuara kepada “sebagai bekal mereka kelak”, tapi kedepannya tidak boleh saya lupakan, banyak hal-hal lain yang harus lebih mendapat prioritas dan jadi ukuran dan target bagi saya untuk mempersiapkan anak2 saya kelak. Hal-hal yang bukan prestasi bagi ukuran umum dan tak kalah pentingnya bagi hidup mereka kelak…..
*anak-anakku, menjadi nomor 1 bidang akademik atau prestasi lain memang membanggakan bagi ibu, tapi tanpa itu semua, kalian tetap anak2 yang sudah membuat ibu bangga pada kalian, mudah2an ibu bisa menjadi ibu yang terbaik buat kalian…..selamanya.
Just prepare your children to be themselves...
Thanks to: Dedy Ardyan for sharing link-note Taman Tenaga C111
13 februari 2012
Monday, February 6, 2012
Dimanakah INDONESIA?
Beberapa hari lalu, seorang kawan men-tag akun fb saya pada gambar yang dipostingnya. Gambar yang diposting ialah gambar “peta” negara-negara top 40 dalam hal jumlah publikasi paper pada jurnal internasional sepanjang tahun 2011.
Sebagai warganegara Indonesia, tentu saja yang ingin saya temukan pada gambar tersebut adalah tulisan “INDONESIA” yang sayangnya tak tampak walaupun mata saya melotot sebesar-besarnya L, kecewa pasti, tapi yang lebih terasa adalah sedihnya…..terlebih lagi setelah saya baca: Thailand, Singapore, Malaysia…..negara-negara tetangga yang jaraknya boleh dibilang hanya selangkah kaki dari Indonesia, dapat mempublikasi paper pada jurnal internasional sampai mencapai angka 5190, 8768 dan 6565 sepanjang tahun 2011.
Indonesia, jumlah penduduk Indonesia 231.641.326 (Badan Pusat Statistik Indonesia - www.bps.go.id) jauh diatas jumlah penduduk Thailand, Singapore dan Malaysia, dan bahkan bila dibandingkan dengan total jumlah penduduk ketiga Negara tersebut, jumlah penduduk Indonesia masih jauh lebih besar. Jumlah penduduk Thailand pada 2000 sebesar 62.400.000 (National Statistical Office Thailand - http://web.nso.go.th), jumlah penduduk Singapore 3.771.000 (resident) atau total populasi 5.077.000 (Department of Singapore Statistic – www.singstat.gov.sg) dan jumlah penduduk Malaysia tahun 2010 ialah 27.565.821 (Jabatan Perangkaan Malaysia – www.statistic.gov.my/portal).
Perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia - dengan kualitas yang baik dan jumlah yang tak kalah dengan ketiga negara tetangga tersebut - juga menjadi salah satu modal utama bagi Indonesia. Bagaimana mungkin dengan sumber daya manusia yang jumlahnya jauh lebih besar dan dengan kemampuan akademis yang PASTI tidak kalah dibandingkan dengan Negara-negara lain, nama Indonesia tidak muncul dalam gambar top 40 tersebut? Kemana hasil penelitian yang dilakukan para peneliti maupun akademisi di universitas2 yang ada? Publikasi pasti sudah dilakukan, namun mungkin hanya terbatas pada jurnal lokal maupun jurnal nasional, dan masih sangat terbatas jumlah paper yang dikirim ke jurnal internasional.
Pertanyaan yang harusnya kita tujukan pada diri sendiri – kalangan akademisi (maaf, karena pertanyaan tersebut juga saya arahkan pada diri saya sendiri) - apakah kendala utama yang menghambat kita untuk melakukan publikasi ilmiah pada skala internasional? Jawaban utama yang pasti akan muncul pada umumnya adalah :dana J, meskipun kalau kita mau jujur pada diri sendiri, bukan masalah itu yang menyebabkan kita “enggan” untuk mengirimkan karya tulisan kita ke jurnal internasional. Karena kenyataannya kalaupun tersedia dana, belum tentu kita gunakan dana tersebut untuk publikasi ilmiah. Apabila biaya yang harus dikeluarkan untuk publikasi ilmiah di jurnal internasional ialah US$50 per halaman, bila paper terdiri dari 10 halaman maka dana yang harus disediakan sebesar US$500 per paper – pengalaman pribadi. Jumlah yang tidak begitu besar bila dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh, baik untuk pribadi, untuk instansi yang kita wakili maupun untuk memberikan kontribusi terhadap kemunculan nama INDONESIA pada gambar peta di atas.
Menurut pendapat saya pribadi, belum terbentuknya budaya publikasi ilmiah internasional lah yang menjadi penyebab utama rendahnya publikasi ilmiah Indonesia di kancah internasional. Suasana yang jauh berbeda saya rasakan saat ini di kampus UKM – Malaysia, bukan hanya mahasiswa yang memang diwajibkan untuk mempublikasikan papernya di jurnal internasional sebagai salah satu syarat kelulusan untuk tingkat Master dan Doktoral, tetapi juga dosen-dosennya berlomba2 menulis paper untuk publikasi internasional. Salah seorang pembimbing saya bahkan mentarget dirinya sendiri untuk dapat mempublikasi paper di jurnal internasional sebanyak 4 paper selama 9 bulan masa cuti sabatikalnya.
Saat ini, sebagai mahasiswa di UKM – Malaysia, saya juga berkewajiban menulis paper dan mempublikasikannya di jurnal internasional, sampai tahun ke-3 masa studi saya, paper yang sudah saya tulis berjumlah 8 judul. 3 buah paper sudah dimuat di jurnal dan 3 judul paper saya presentasikan dalam konferensi internasional, jumlah ini masih kalah jauh dibandingkan kawan se-lab saya (Malaysian) yang sudah menulis 20 judul selama 3 tahun masa studinya, dengan 10 judul sudah dipublikasi dalam jurnal, dan 6 judul dipresentasikan dalam konferensi internasional. (….hehehe….padahal menurut saya, sangat banyak waktu yang saya habiskan untuk “labworking and papering” tak kalah banyaknya dengan waktu yang dihabiskan oleh kawan saya tersebut). Academic atmosphere yang terasa di kampus memang berbeda, tiap kali berpapasan dengan dosen pembimbing maupun co-pembimbing, pertanyaan yang diajukan ialah: sudah berapa paper yang kamu tulis? Bukan hanya: sampai dimana tahap penelitianmu? Itu artinya, menulis atau mempublikasikan hasil riset….sama penting atau bahkan lebih penting dibandingkan riset itu sendiri. Karena itu, publikasi menjadi target utama pada saat riset dirancang dan dilaksanakan, hal itu yang seringkali terlewat dari pusat perhatian saya saat saya melakukan penelitian di Indonesia. Karena kebanyakan penelitian saya hanya berujung pada buku laporan penelitian yang nantinya ditumpuk di lemari perpustakaan (beruntung saat ini perpustakaan ITS sudah dapat diakses online – sehingga buku hasil penelitian tidak hanya menjadi penghuni tetap rak buku yang bahkan tebal debunya bisa jadi lebih tebal daripada jumlah halaman dalam buku laporan tersebut).
Menulis paper dan kemudian berusaha mempublikasikannya, sudah harus menjadi satu kewajiban dalam setiap pelaksanaan penelitian, sebelum akhirnya mengirimkan paper ke jurnal berskala internasional menjadi suatu budaya di kalangan peneliti dan akademisi. Toh dengan segala kemudahan teknologi saat ini, paper submission cukup dilakukan dengan ujung jari dan jaringan internet, sangat mudah dan tanpa biaya pengiriman, hanya niat dan kemauan yang diperlukan serta semangat untuk terus mencoba memperbaiki dan mengirimkan kembali paper yang rejected sampai akhirnya dapat dimuat dalam jurnal.
Semoga semangat menulis dan mempublikasi (beserta segala kesulitan dan kegagalannyaJ) yang ada saat ini, akan tetap melekat dalam diri saya nanti setelah saya kembali ke kampus tercinta ITS, untuk dapat berkontribusi memunculkan nama Indonesia dalam gambar peta diatas, sehingga suatu saat nanti kita bisa melihat INDONESIA tanpa harus memelototkan mata.
Taman Tenaga C111 - 06022012
Ucapan terima kasih kepada: Bpk. Djoko Budiyanto – Atmajaya Jogjakarta, yang telah tag akun fb saya dengan gambar diatas.
Saturday, August 13, 2011
Pelajaran berharga untuk dibagikan pada anak didik kita......
Dari catatan seorang rekan di grup dosen indonesia (Rustam Fahmy - Faculty of Forestry Mulawarman University)......
PASSPORT by Rhenald Kasali
Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pe...lancong lokal.
Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus memiliki "surat ijin memasuki dunia global.". Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport.
Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.
"Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?"
Saya katakan saya tidak tahu. Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.
Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.
Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu.
Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.
The Next Convergence
Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.
Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport.Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.
Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri.
Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.
Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit. Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.
Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pe...lancong lokal.
Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus memiliki "surat ijin memasuki dunia global.". Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport.
Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.
"Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?"
Saya katakan saya tidak tahu. Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.
Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.
Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu.
Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.
The Next Convergence
Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.
Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport.Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.
Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri.
Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.
Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit. Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.
Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
*pelajaran berharga yang dapat saya ambil dari catatan tersebut ialah..... pendidikan yang mahal dan tak ternilai adalah bagaimana kita dapat membuat anak didik kita mempunyai wawasan yang luas dan kepercayaan diri yang tak terbatas hanya pada kotak kubus ruang kuliah.... semoga saya bisa menjadi salah satu pendidik yang mampu untuk memberikan itu kepada anak didik saya....amin
Sunday, June 19, 2011
Standar pendidikan, mengapa harus berbeda?
Kesibukan yang selalu menarik perhatian saya menjelang tahun pelajaran baru adalah: mengamati "kepanikan" para orang tua menunggu hasil UN dan mencari sekolah untuk anak mereka....dan karena sebagian besar kawan-kawan saya punya anak usia sekolah dasar, maka yang saya amati adalah kesibukan mencari sekolah jenjang SMP.
Semalam, ada seorang kawan yang mengirim pesan singkat kepada saya: "anakku nilai UN nya nanggung bie, 27.70, jadi bingung mau daftar kemana". Saya yang belum punya pengalaman tentang UN, tentu saja ngga paham dengan angka sebesar itu, dalam hati saya bertanya: jadi rata-ratanya berapa ya?, tapi saat itu, saya tidak sempat berpikir untuk bertanya tentang rata-rata nilainya, karena ada hal lain yang lebih menarik yang tiba-tiba terlintas di benak saya....
Kenapa orang tua harus bingung kemana mendaftarkan anaknya sekolah? bukankah sudah jelas, setelah lulus SD maka jenjang selanjutnya adalah SMP. Saya tak tahu pasti berapa banyak jumlah SD dan SMP di Surabaya, tetapi seharusnya jumlah SMP yang ada cukup untuk menampung semua anak usia sekolah yang lulus SD, bukankah pemerintah sudah mencanangkan wajib belajar 9 tahun bagi anak usia sekolah? Lalu kenapa harus bingung kemana akan mendaftar? kenapa tidak mendaftar di sekolah terdekat dari rumah, sehingga sang anak ngga perlu jauh-jauh berangkat dan pulang sekolah, selain mereka capek di jalan, tentunya merepotkan orang tua kalo harus mengantarkan anak mereka sekolah di tempat yang jaraknya jauh dari rumah.
Saya sangat paham, orang tua tentu ingin yang terbaik bagi anak mereka, tidak terkecuali saya tentunya, dan mungkin pada saat anak saya lulus SD, saya juga akan mengalami kepanikan yang sama seperti yang saat ini dialami oleh kawan-kawan saya.... Disitulah letak permasalahnannya, orang tua mengharapkan yang terbaik untuk anak mereka, sedangkan tidak semua sekolah mempunyai standar kualitas yang sama, akibatnya, sekolah-sekolah "favorit"lah yang jadi tujuan sebagian calon siswa (plus orang tuanya tentu saja), sedangkan di tempat lain, sekolah-sekolah pinggiran yang dianggap "ngga ngetop" jadi sepi peminat, kecuali yang nilai UN nya pas-pasan....syukur-syukur bisa masuk sekolah negeri.
Bukankah seharusnya hal ini sudah difikirkan oleh pengambil kebijakan dan pelaku pendidikan di negara kita? Menyetarakan standar pendidikan terutama pada jenjang SD dan SMP (yang sudah menjadi program wajib belajar 9 tahun) adalah hal utama, dan bukan hanya berkonsentrasi pada peningkatan standar sekolah-sekolah tertentu yang nyata-nyata sudah menyandang gelar favorit dan selalu menjadi pilihan sebagian besar calon siswa. Seandainya semua sekolah sudah mempunyai standar kualitas yang sama, tentunya tidak akan timbul pernyataan seperti diatas: "bingung mau daftar kemana" - belakangan baru saya tahu bahwa angka 27.70 adalah setara dengan rata-rata nilai > 9, nilai yang menurut saya mendekati sempurnya :) (dan sebetulnya tidak perlu bingung mau daftar kemana) - dan menurut pendapat saya pribadi, bila seorang anak sudah dinyatakan lulus (dengan nilai berapapun) sesuai dengan standar kelulusan yang ditetapkan untuk jenjang SD, seharusnya dia berhak untuk sekolah di SMP manapun, bukankah pemerintah sudah mencanangkan wajib belajar 9 tahun?
Semalam, ada seorang kawan yang mengirim pesan singkat kepada saya: "anakku nilai UN nya nanggung bie, 27.70, jadi bingung mau daftar kemana". Saya yang belum punya pengalaman tentang UN, tentu saja ngga paham dengan angka sebesar itu, dalam hati saya bertanya: jadi rata-ratanya berapa ya?, tapi saat itu, saya tidak sempat berpikir untuk bertanya tentang rata-rata nilainya, karena ada hal lain yang lebih menarik yang tiba-tiba terlintas di benak saya....
Kenapa orang tua harus bingung kemana mendaftarkan anaknya sekolah? bukankah sudah jelas, setelah lulus SD maka jenjang selanjutnya adalah SMP. Saya tak tahu pasti berapa banyak jumlah SD dan SMP di Surabaya, tetapi seharusnya jumlah SMP yang ada cukup untuk menampung semua anak usia sekolah yang lulus SD, bukankah pemerintah sudah mencanangkan wajib belajar 9 tahun bagi anak usia sekolah? Lalu kenapa harus bingung kemana akan mendaftar? kenapa tidak mendaftar di sekolah terdekat dari rumah, sehingga sang anak ngga perlu jauh-jauh berangkat dan pulang sekolah, selain mereka capek di jalan, tentunya merepotkan orang tua kalo harus mengantarkan anak mereka sekolah di tempat yang jaraknya jauh dari rumah.
Saya sangat paham, orang tua tentu ingin yang terbaik bagi anak mereka, tidak terkecuali saya tentunya, dan mungkin pada saat anak saya lulus SD, saya juga akan mengalami kepanikan yang sama seperti yang saat ini dialami oleh kawan-kawan saya.... Disitulah letak permasalahnannya, orang tua mengharapkan yang terbaik untuk anak mereka, sedangkan tidak semua sekolah mempunyai standar kualitas yang sama, akibatnya, sekolah-sekolah "favorit"lah yang jadi tujuan sebagian calon siswa (plus orang tuanya tentu saja), sedangkan di tempat lain, sekolah-sekolah pinggiran yang dianggap "ngga ngetop" jadi sepi peminat, kecuali yang nilai UN nya pas-pasan....syukur-syukur bisa masuk sekolah negeri.
Bukankah seharusnya hal ini sudah difikirkan oleh pengambil kebijakan dan pelaku pendidikan di negara kita? Menyetarakan standar pendidikan terutama pada jenjang SD dan SMP (yang sudah menjadi program wajib belajar 9 tahun) adalah hal utama, dan bukan hanya berkonsentrasi pada peningkatan standar sekolah-sekolah tertentu yang nyata-nyata sudah menyandang gelar favorit dan selalu menjadi pilihan sebagian besar calon siswa. Seandainya semua sekolah sudah mempunyai standar kualitas yang sama, tentunya tidak akan timbul pernyataan seperti diatas: "bingung mau daftar kemana" - belakangan baru saya tahu bahwa angka 27.70 adalah setara dengan rata-rata nilai > 9, nilai yang menurut saya mendekati sempurnya :) (dan sebetulnya tidak perlu bingung mau daftar kemana) - dan menurut pendapat saya pribadi, bila seorang anak sudah dinyatakan lulus (dengan nilai berapapun) sesuai dengan standar kelulusan yang ditetapkan untuk jenjang SD, seharusnya dia berhak untuk sekolah di SMP manapun, bukankah pemerintah sudah mencanangkan wajib belajar 9 tahun?
Sunday, June 5, 2011
bidang keahlian....sesuaikah dengan kebutuhan?
Pada saat memutuskan untuk melanjutkan sekolah, satu hal yang menjadi pemikiran saya adalah....bidang apa sih yang harus saya pilih jadi keahlian saya?
Bila merunut "jejak" akademis saya, S1 saya selesaikan dengan tugas akhir pengolahan air limbah sekaligus uji ekotoksisitasnya - dengan latar belakang cerita yang cukup panjang sehingga mengharuskan kami (ber4 saat itu) membuat tugas akhir dengan dua topik sekaligus :). Melanjutkan S2 dengan penelitian mengenai pengolahan lumpur alum dari proses pengolahan air minum, juga tanpa rencana, karena penelitian dilakukan di Taiwan dengan biaya dari universitas sponsor disana, sehingga topik penelitian juga menyesuaikan dengan proyek penelitian yang sedang berlangsung saat itu. Saat menyusun proposal untuk penelitian S3, saya putuskan untuk tetap di jalur yang kotor alias masih berurusan dengan pengolahan limbah, dan dengan berbagai pertimbangan, saya tidak memilih pengolahan biologis yang menurut perhitungan saya akan memakan waktu cukup lama. Tetapi, seperti yang terjadi sebelumnya, lagi-lagi topik penelitian saya harus menyesuaikan dengan proyek penelitian yang sedang berlangsung di universitas tempat saya melakukan penelitian. Saya dan juga kedua kawan seperjuangan saya dari jurusan yang sama, tidak dapat "memilih" penelitian sesuai dengan apa yang kami rencanakan, hal ini dibatasi oleh masalah klasik "dana" yang tidak disediakan oleh pemberi beasiswa, sehingga kami memang harus mengikuti proyek penelitian yang ada, bila tak mau atau tak mampu membiayai penelitian kami.
Everything happens for a reason, apapun alasannya, penelitian tetap kami lakukan, dengan usaha yang lebih keras tentu karena kami harus belajar dari nol mengenai topik penelitian ini, dan sebenarnya bukan itu yang menjadi permasalahan utama. Seringkali terpikir, bukankah kami ditugaskan belajar, adalah untuk meningkatkan kompetensi kami sesuai dengan visi dan misi institusi tempat kami mengabdi....lah apabila semua yang ditugaskan belajar, harus menyesuaikan bidang keahlian mereka dengan proyek penelitian dari penyandang dana, bagaimana institusi pendidikan di Indonesia dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan, visi dan misi yang direncanakan?
Bila merunut "jejak" akademis saya, S1 saya selesaikan dengan tugas akhir pengolahan air limbah sekaligus uji ekotoksisitasnya - dengan latar belakang cerita yang cukup panjang sehingga mengharuskan kami (ber4 saat itu) membuat tugas akhir dengan dua topik sekaligus :). Melanjutkan S2 dengan penelitian mengenai pengolahan lumpur alum dari proses pengolahan air minum, juga tanpa rencana, karena penelitian dilakukan di Taiwan dengan biaya dari universitas sponsor disana, sehingga topik penelitian juga menyesuaikan dengan proyek penelitian yang sedang berlangsung saat itu. Saat menyusun proposal untuk penelitian S3, saya putuskan untuk tetap di jalur yang kotor alias masih berurusan dengan pengolahan limbah, dan dengan berbagai pertimbangan, saya tidak memilih pengolahan biologis yang menurut perhitungan saya akan memakan waktu cukup lama. Tetapi, seperti yang terjadi sebelumnya, lagi-lagi topik penelitian saya harus menyesuaikan dengan proyek penelitian yang sedang berlangsung di universitas tempat saya melakukan penelitian. Saya dan juga kedua kawan seperjuangan saya dari jurusan yang sama, tidak dapat "memilih" penelitian sesuai dengan apa yang kami rencanakan, hal ini dibatasi oleh masalah klasik "dana" yang tidak disediakan oleh pemberi beasiswa, sehingga kami memang harus mengikuti proyek penelitian yang ada, bila tak mau atau tak mampu membiayai penelitian kami.
Foto-foto oleh BIEBY
Everything happens for a reason, apapun alasannya, penelitian tetap kami lakukan, dengan usaha yang lebih keras tentu karena kami harus belajar dari nol mengenai topik penelitian ini, dan sebenarnya bukan itu yang menjadi permasalahan utama. Seringkali terpikir, bukankah kami ditugaskan belajar, adalah untuk meningkatkan kompetensi kami sesuai dengan visi dan misi institusi tempat kami mengabdi....lah apabila semua yang ditugaskan belajar, harus menyesuaikan bidang keahlian mereka dengan proyek penelitian dari penyandang dana, bagaimana institusi pendidikan di Indonesia dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan, visi dan misi yang direncanakan?
untuk apa sekolah lagi? ....lagi-lagi sekolah :)
Pertanyaan itu sering muncul tiba2 dalam benak saya....
Jawaban yang paling tepat tentu untuk meningkatkan kompetensi, selain itu sesuai dengan kebutuhan institusi pendidikan, tempat saya mengabdikan diri...tapi itu adalah jawaban "ideal" dan sangat normatif.
Dalam sebuah perbincangan dengan seorang kawan, muncul jawaban: sekedar untuk menggugurkan kewajiban....
Meskipun dengan nada guyon dan dalam perbincangan santai, jawaban tersebut ternyata benar-benar jawaban serius yang sangat saya setujui dan benar juga…sejujurnya itulah jawaban saya (dan mungkin banyak kawan-kawan seprofesi) yang tidak bisa tidak, harus mengakui bahwa itulah jawaban yang paling jujur..
Profesi di bidang pendidikan, “menuntut” kami semua untuk terus meningkatkan kompetensi, dan tentunya salah satunya adalah dengan meraih gelar tertinggi di bidang akademik – sekolah sampai ke jenjang S3 atau tingkat doktoral. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, itulah yang harus dihadapi dan harus dilalui…meskipun banyak juga yang memilih jalan lain untuk meningkatkan kompetensi…dengan segala konsekuensinya…
Pertanyaannya ialah, mengapa masih banyak yang “tidak memilih” untuk sekolah lagi, meskipun sebagian besar memilih profesi ini atas kemauan sendiri dan sudah pasti seharusnya sadar akan kewajiban yang harus ditanggung (sekolah sampai tuntas).
Jawaban yang sangat sederhana: alasan materi, menjadi yang utama (meskipun masalah materi bukan masalah yang sangat sederhana) - mengutip kalimat seorang kawan - "budhal mlarat mulih tambah mlarat", ketakutan2 seperti itulah yang menyebabkan kebanyakan dari kami "ngerem mendadak" kalau ditugaskan untuk sekolah :)
Meskipun saat ini pemerintah juga sudah menyediakan "dana pendidikan" bagi profesi "pendidik", tetapi masalah lain juga tetap ada, yaitu harus meninggalkan keluarga dikarenakan dana yang tersedia hanya mencukupi kebutuhan satu orang saja.... Dapat dibayangkan, betapa beratnya bila seorang kepala keluarga harus meninggalkan keluarganya dalam kondisi keuangan yang "serba cukup-cukup aja" untuk berjuang mendapatkan gelar S3 di luar negeri...beban sekolah dan beban hidup tentu bukan trigger yang baik untuk memacu semangat :)
Pilihan yang jadi favorit pada akhirnya ialah, sekolah di dalam negeri bahkan lebih baik lagi kalau di dalam kota....win win solution yang menyenangkan semua pihak. Meskipun mungkin tujuan "meningkatkan kompetensi" tetap dapat terpenuhi, tapi tentunya banyak kesempatan lain yang terlewatkan, setidaknya kesempatan untuk mendapatkan pengalaman "di negeri orang" tidak diperoleh.
Apapun alasan dan pilihan yang diambil, menurut saya pribadi, sekolah lagi (lagi-lagi sekolah :)) sampai jenjang tertinggi, merupakan bentuk tanggung jawab seseorang yang sudah memilih untuk berprofesi di bidang pendidikan, dengan segala konsekuensi yang harus ditanggung....tanpa menafikan keberadaan rekan2 seprofesi yang memilih jalan lain sebagai bentuk tanggung jawabnya....
Jawaban yang paling tepat tentu untuk meningkatkan kompetensi, selain itu sesuai dengan kebutuhan institusi pendidikan, tempat saya mengabdikan diri...tapi itu adalah jawaban "ideal" dan sangat normatif.
Dalam sebuah perbincangan dengan seorang kawan, muncul jawaban: sekedar untuk menggugurkan kewajiban....
Meskipun dengan nada guyon dan dalam perbincangan santai, jawaban tersebut ternyata benar-benar jawaban serius yang sangat saya setujui dan benar juga…sejujurnya itulah jawaban saya (dan mungkin banyak kawan-kawan seprofesi) yang tidak bisa tidak, harus mengakui bahwa itulah jawaban yang paling jujur..
Profesi di bidang pendidikan, “menuntut” kami semua untuk terus meningkatkan kompetensi, dan tentunya salah satunya adalah dengan meraih gelar tertinggi di bidang akademik – sekolah sampai ke jenjang S3 atau tingkat doktoral. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, itulah yang harus dihadapi dan harus dilalui…meskipun banyak juga yang memilih jalan lain untuk meningkatkan kompetensi…dengan segala konsekuensinya…
Pertanyaannya ialah, mengapa masih banyak yang “tidak memilih” untuk sekolah lagi, meskipun sebagian besar memilih profesi ini atas kemauan sendiri dan sudah pasti seharusnya sadar akan kewajiban yang harus ditanggung (sekolah sampai tuntas).
Jawaban yang sangat sederhana: alasan materi, menjadi yang utama (meskipun masalah materi bukan masalah yang sangat sederhana) - mengutip kalimat seorang kawan - "budhal mlarat mulih tambah mlarat", ketakutan2 seperti itulah yang menyebabkan kebanyakan dari kami "ngerem mendadak" kalau ditugaskan untuk sekolah :)
Meskipun saat ini pemerintah juga sudah menyediakan "dana pendidikan" bagi profesi "pendidik", tetapi masalah lain juga tetap ada, yaitu harus meninggalkan keluarga dikarenakan dana yang tersedia hanya mencukupi kebutuhan satu orang saja.... Dapat dibayangkan, betapa beratnya bila seorang kepala keluarga harus meninggalkan keluarganya dalam kondisi keuangan yang "serba cukup-cukup aja" untuk berjuang mendapatkan gelar S3 di luar negeri...beban sekolah dan beban hidup tentu bukan trigger yang baik untuk memacu semangat :)
Pilihan yang jadi favorit pada akhirnya ialah, sekolah di dalam negeri bahkan lebih baik lagi kalau di dalam kota....win win solution yang menyenangkan semua pihak. Meskipun mungkin tujuan "meningkatkan kompetensi" tetap dapat terpenuhi, tapi tentunya banyak kesempatan lain yang terlewatkan, setidaknya kesempatan untuk mendapatkan pengalaman "di negeri orang" tidak diperoleh.
Apapun alasan dan pilihan yang diambil, menurut saya pribadi, sekolah lagi (lagi-lagi sekolah :)) sampai jenjang tertinggi, merupakan bentuk tanggung jawab seseorang yang sudah memilih untuk berprofesi di bidang pendidikan, dengan segala konsekuensi yang harus ditanggung....tanpa menafikan keberadaan rekan2 seprofesi yang memilih jalan lain sebagai bentuk tanggung jawabnya....
![]() |
Foto oleh IPUNG F. PURWANTI |
Subscribe to:
Posts (Atom)