Masih tentang hiruk pikuk PPDB 2019, setelah tulisan saya sebelumnya terkait PPDB berdasarkan zonasi, perkembangan terbaru (info terbaru tentang PPDB 2019) mengenai PPDB zonasi mengalami sedikit perubahan, yaitu masih berlakunya sekolah khusus (yang pada PPDB sebelumnya dikenal sebagai sekolah kawasan). Seperti PPDB sebelumnya, metode penerimaan sekolah khusus tingkat SMP ini juga menggunakan nilai Tes Potensi Akademik (TPA) selain nilai UNAS, dengan prosentase yang belum ditentukan. Sedangkan untuk SMA, metode penerimaan kembali seperti 2 tahun terakhir yaitu menggunakan nilai UNAS, dan calon siswa boleh memilih salah satu sekolah di luar zona tempat tinggalnya. Hiruk pikuk kembali terjadi, terdapat yang pro dan kontra terhadap pengembalian aturan penerimaan siswa ini, pro bagi yang alamat tempat tinggalnya berada di luar zona sekolah-sekolah favorit, dan kontra bagi yang sebaliknya, karena merasa diuntungkan dengan adanya peraturan zonasi :)
Saya pribadi tidak ambil pusing dengan perubahan-perubahan mendadak yang dilakukan oleh pengambil kebijakan, mengingat kedua metode PPDB tersebut sama-sama mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing, dan tentu saja dapat menguntungkan maupun merugikan bagi anak-anak saya yang masih akan memasuki jenjang SMP (tahun ini) dan SMA (tahun depan). Namun tetap saja perubahan tersebut membuat saya kalangkabut mencari lembaga kursus untuk mempersiapkan anak bungsu saya menghadapi TPA yang mungkin diperlukannya bila nilai UNAS yang didapat mencapai rata-rata 8,5. Lembaga kursus TPA pun seperti mendapat angin segar dan segera melancarkan aksi propagandanya melalui berbagai media sosial. Berbagai penawaran bersliweran memenuhi grup-grup medsos orang tua calon siswa, dengan berbagai variasi harga yang ditawarkan, namun dari berbagai variasi tersebut ada satu kesamaan yaitu sama-sama mahal untuk ukuran rata-rata orang tua, bila dibandingkan dengan biaya sekolah SD selama 1 tahun :D. Bagi sebagian orang tua yang kebetulan memiliki keleluasaan dalam hal finansial, bisa jadi kebingungan mereka hanyalah memilih lembaga kursus yang dinilai paling tepat untuk membimbing anak-anak mereka. Namun bagi sebagian lainnya, kebingungan tersebut tentu ditambah dengan menyediakan biaya kursus yang tidak murah. Mengingat TPA ini tidaklah mudah bagi anak-anak usia SD yang belum pernah menghadapi dan belum disiapkan untuk ujian TPA.
Sebagai orang tua, lagi-lagi ego saya merasa kurang "pas" dengan aturan ujian TPA ini, bukan hanya karena "keharusan" mengeluarkan biaya les, namun juga mengingat anak-anak sudah bekerja keras berbulan-bulan untuk persiapan UNAS, kenapa harus dibebani lagi dengan ujian TPA yang notabene hanya punya waktu sebulan untuk persiapannya (belum dikurangi libur puasa dan lebaran), sehingga agak kurang fair bila penerimaan sekolah juga didasarkan pada nilai TPA ini. Selain itu, pemberitaan yang simpang siur dan perubahan metode penerimaan siswa juga membuat anak-anak sedikit mengalami kekacauan - kalau tidak boleh disebut shock - dan bingung serta kecewa, terutama yang sudah merasa diuntungkan dengan adanya sistem zonasi.
Terlepas dari semua hiruk pikuk PPDB 2019, memang harus disikapi dengan positif, karena pada prinsipnya metode zonasi cukup masuk akal untuk diterapkan dan tidak mengeksklusifkan sebagian sekolah tertentu yang masuk dalam kategori sekolah khusus, sehingga semua anak akan dapat menikmati pendidikan dengan kualitas yang sama dimanapun mereka bersekolah. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa, penerapan metode tersebut tidaklah dapat dilakukan semudah membalik telapak tangan, karena banyak yang harus dipersiapkan dengan matang sehingga tidak merugikan banyak pihak.
Surabaya, Sabtu 12 Mei 2019 pk. 18.50
Sunday, May 12, 2019
Friday, April 19, 2019
Teknik Remediasi Lingkungan
Mata Kuliah Teknik Remediasi Badan Air dan Pesisir (RBAP) baru eksis di Kurikulum 2014 Teknik Lingkungan, sebelumnya pada Kurikulum 2009 terdapat Mata Kuliah Pengendalian Pencemaran Laut dan Pesisir (PPLP) yang dihapus dan dimasukkan ke dalam MK RBAP di 2004. Sebagai dosen yang tergabung pada Rumpun Mata Kuliah (RMK) Remediasi Lingkungan, maka saya juga mendapat kepercayaan untuk menjadi pengampu MK RBAP ini. Kebetulan juga mungkin karena topik Tugas Akhir dan topik Disertasi saya tentang Ekotoksisitas limbah organik terhadap biota air dan Bioremediasi/Fitoteknologi media tercemar logam berat Pb dianggap merupakan bagian dari Teknologi Remediasi, sehingga dianggap cukup sebagai bekal untuk menyampaikan MK tersebut.
Pada saat aktif kembali tahun 2013 setelah 3,5 tahun sekolah, saya mengawali "karir" menjadi pengampu MK PPLP dan ternyata saya sangat menikmati, terutama saat menyampaikan materi mengenai Bioremediasi/Fitoremediasi yang memang menjadi "mainan" saya selama hampir 4 tahun. Sehingga pada saat Kurikulum 2014 direlease, dan saya menjadi salah satu pengampu MK RBAP, sudah timbul niat saya untuk menyusun diktat/ buku ajar tentang teknik-teknik remediasi yang ada dan dapat diterapkan. Namun karena keterbatasan waktu (alasan klise) dan ketidakPEDEan, membuat draft buku tersebut tetap menjadi draft selama beberapa tahun (lebih kurang 4 tahun sampai diterbitkan tahun 2018). Keinginan untuk melanjutkan realisasi diktat/ buku tersebut timbul lagi setelah dengan "terpaksa" kami team teaching MK RBAP (Prof. Sarwoko M, bu Harmin S. Titah dan saya sendiri) menerbitkan petunjuk praktik Remediasi Lingkungan, yang disusun dalam waktu yang cukup singkat (kurang dari setahun) dan dipersiapkan mendadak setelah presentasi Rencana Perkuliahan (RP) MK RBAP disampaikan di Rapat Kurikulum di tahun 2014. Pada saat itu kami berdua (bu Harmin dan saya) menyusun petunjuk praktikum untuk keperluan perkuliahan, terdiri dari +/- 12 percobaan, namun setelah kami tunjukkan kepada Prof. Sarwoko selaku ketua RMK Remediasi Lingkungan, beliau menyampaikan bahwa draft tersebut sudah layak diterbitkan sebagai buku berISBN, dan jadilah buku Praktik Remediasi Lingkungan dicetak dengan ISBN dan penerbit ITS Press. Buku tersebut dicetak dan diberikan secara cuma-cuma kepada mahasiswa dengan biaya yang diupayakan secara pribadi oleh anggota Laboratorium Remediasi Lingkungan TL. Buku tersebut juga merupakan pegangan untuk melaksanakan praktikum MK RBAP sejak praktikum dilaksanakan di semester gasal tahun 2015/2016 (TL angkatan 2013).
Setelah terbitnya buku praktik tersebut, saya mengajak bu Harmin untuk ikut melanjutkan penyelesaian draft buku Teknologi Remediasi Lingkungan yang sudah terhenti penulisannya karena banyak hal yang disebutkan di atas, dan ditambah lagi dengan tersitanya waktu untuk menyelesaikan penulisan dan penerbitan buku Praktik Remediasi Lingkungan. Pada akhirnya, tahun 2018 lalu, setelah menjalani proses panjang seleksi di penerbit lebih kurang 1 tahun (karena kami berusaha mencari penerbit yang mau memproduksi buku kami tanpa kami mengeluarkan biaya), terbitlah buku kami yang berjudul Teknologi Remediasi Lingkungan dengan ISBN978-602-5874-07-9 oleh Penerbit MOBIUS (Graha Ilmu). Semoga buku ini dapat menjadi sarana penyebaran pengetahuan, dan walaupun belum selengendaris buku Metoda Penelitian AIR karya Ibu Sri Sumestri, namun kami berharap buku ini kelak juga dapat menjadi pengingat keberadaan kami kepada alumni Teknik Lingkungan ITS terutama. Bismillahirrohmaanirrohiiim.
Thursday, April 18, 2019
Ibu TL dalam kenangan
Buku MPA ini, sangat ngetop di jamannya, karena menjadi salah satu buku pegangan untuk Mata Kuliah Laboratorium Lingkungan (saat ini nama MK menjadi Teknik Analisis Pencemar Lingkungan), walaupun ada buku acuan lain yang berbahasa Inggris dan lebih lengkap, namun buku ini masih jadi yang utama. Mudah dibaca (karena berBahasa Indonesia), mudah dipahami (karena bahasanya sederhana), mudah dibawa-bawa (karena tidak setebal buku-buku TL yang beratnya bisa bikin punggung mengalamai skoliosis), dan merupakan buku pertama bidang TL yang dikenal oleh mahasiswa, karena di semester-semester sebelumnya kami "hanya" bertemu dengan matematika, fisika, kimia, menggambar teknik, sehingga pasti buku ini sangat mudah diingat oleh alumni TL. Wajah penulisnya pun sudah sangat populer di kalangan TLers, karena ada foto dan biografi singkat di bagian dalam sampul belakang buku.
Analisa parameter air, seperti yang tercantum di dalam buku, juga merupakan salah satu hal penting dalam bidang keTLan, sehingga mau atau tidak mau dan suka atau tidak suka, saat kita membahasnya pasti akan teringat pada buku MPA yang fenomenal tersebut. Meskipun saat ini sudah semakin banyak bahan ajar, buku, jurnal maupun acuan lain yang dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan analisa parameter air, namun keberadaan buku MPA ini tidak akan pernah hilang atau terhapus. Bahkan pada saat Hari Selasa, 16 April 2019 kemarin mendengar berita beliau berpulang, beberapa alumni ada yang bertanya (karena tidak mengenal langsung sosok beliau), jawaban singkat: penulis buku MPA sudah membuat semua mengingat beliau.
Begitu dahsyatnya karya tulis beliau menguasai ingatan kami semua, semoga buku ini dapat menjadi ladang amal jariyah, dan menginspirasi kami para penerus beliau untuk dapat menghasilkan karya-karya terbaik yang bermanfaat untuk banyak orang, yang tidak akan berhenti meskipun saat nafas sudah terhenti.
Selamat beristirahat Ibu, istirahat dengan tenang, kami semua mendoakanmu melalui ladang amal jariyahmu yang kau sebarkan.
Surabaya, Jumat 19 April 2019, 12.44
hi...i'm back on 2019 - PPDB 2019
2015 |
Hobi menulis saya kembali terusik sejak beberapa bulan terakhir, namun karena kendala-kendala teknis seperti lupa password, lupa cara buka akun, gaptek, gak paham gadget dsb. dsb., keinginan menulis jadi teralihkan. Pagi ini, lagi-lagi karena baca tulisan seorang kawan di akun medium-nya, saya jadi "berusaha keras" untuk membuka kembali blog saya yang sudah lama mati suri, dan semoga pagi ini menjadi penanda kembalinya saya di dunia blogger :)
Saya gak akan menulis tentang hiruk pikuk Pilpres dan pernik-perniknya, karena saya lebih tertarik berbicara tentang pendidikan, terutama pendidikan anak-anak saya yang masih di usia SD, SMP dan SMA. Beberapa waktu lalu saat saya mengantarkan si ganteng anak ke-2 berangkat sekolah, dengan wajah kecewanya si ganteng saya bilang: sekarang masuk SMA pake zonasi bu, aku lak gak bisa masuk SMA 2. Sekedar info saja, anak saya yang ke-2 ini cita-citanya jadi dokter yang pemain gitar, dan menjadi sangat terobsesi masuk SMA 2 yang merupakan salah satu sekolah SMA favorit di Surabaya dan notabene "ngetop" dengan kegiatan bermusik (sekolahnya penyanyi maupun pemusik ngetop seperti Ita Purnamasari, Dhani Ahmad, dll. - sepertinya kok saya cuma tau 2 itu ya :D). Dengan adanya Permendikbud No. 51 tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada TK, SD, SMP, SMA/ SMK, salah satunya adanya aturan penerimaan SMA yang tidak lagi mengacu nilai UN tapi berdasarkan jarak rumah dengan sekolah yang dibuktikan dengan alamat KK. Sehingga, anak-anak yang ortunya beralamat di "pinggiran" tidak bisa menikmati sekolah di "pusat" kota seperti SMA 2. Walaupun sampai saat ini belum ada kejelasan dan kepastian tentang pelaksanaan PPDB 2019, namun hal tersebut sudah menimbulkan keresahan di kalangan calon siswa dan terutama juga orang tuanya. Di sekolah anak saya SPENSIXpun demikian, meskipun anak saya masih duduk di kelas 8 (kelas 2 SMP), namun di setiap kesempatan temu ortu - baik yang dijadwal maupun tidak sengaja saat sama-sama menjemput di sekolah - topik PPDB zonasi ini menjadi pembicaraan utama. Terutama untuk para ortu yang KK nya di luar pusat kota yang tentu saja tidak masuk zonasi sekolah SMA favorit a.k.a. SMA kompleks.
Saya pribadi sebetunya sangat setuju dengan wacana pelaksanaan sistem PPDB zonasi ini, karena idealnya semua sekolah mempunyai "level" yang setara, tidak perlu ada sekolah favorit sehingga tidak perlu ada perebutan bangku sekolah, karena setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk bersekolah dan negara/ pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyediakan kualitas pendidikan yang sama (walaupun sulit). Namun, saat ini merk sekolah favorit masih menjadi target utama calon siswa, mengingat belum semua sekolah mempunyai kapasitas, fasilitas dan kualitas yang sama. Sehingga keresahan akan tidak dapat masuk di sekolah yang berkualitas - dan tentu saja bergengsi - menjadi salah satu pemicu penolakan atas peraturan baru PPDB ini, bahkan kami para ortu juga dengan sukarela ikut menandatangani petisi yang menyampaikan aspirasi calon siswa kepada pihak penentu kebijakan, yang tentu saja tidak menjamin dibatalkannya peraturan PPDB zonasi. Meskipun saya juga sebetulnya berharap anak saya bisa masuk ke SMA yang diinginkannya, terlepas apapun alasan yang mendasarinya.
Seperti pada umumnya aturan baru yang akan diberlakukan, huru-hara yang ditimbulkan terutama karena tidak ada sosialisasi yang jelas di awal, sehingga terasa sangat mendadak diimplementasikan dan mengakibatkan shock bagi komunitas yang terdampak. Namun saya juga sangat yakin, setelah berjalan 1 atau 2 periode, semua akan menjadi normal dan tidak ada yang merasa dirugikan. Sebagai gambaran, saat ini anak ke-2 saya yang sekolah di SPENSIX yang merupakan salah satu SMP favorit, harus berangkat sebelum pukul 6 pagi karena jarak rumah sekolah yang cukup jauh (9,8 km - google map) dan melewati jalan-jalan utama yang rawan macet, sedangkan di dekat rumah terdapat SMP lain yang jaraknya hanya 5 km dengan rute yang sangat aman dari risiko macet. Dan ternyata, kawan-kawan sekolahnya pun sangat beragam lokasi tempat tinggalnya, bahkan ada yang rumahnya di kawasan Sidoarjo, bisa dibayangkan pukul berapa harus berangkat dari rumah bisa jadi saat matahari masih setengah mata. Sehingga peraturan PPDB zonasi ini tentu akan banyak manfaatnya selain jarak tempuh rumah-sekolah yang dekat, tentunya akan menghemat tenaga/ energi dan biaya, anak menjadi lebih fresh tiba di sekolah, selain itu juga nantinya akan meningkatkan pemerataan kualitas sekolah, mengingat "murid-murid yang pinter" gak hanya terkonsentrasi di sekolah favorit, namun tersebar merata di seluruh penjuru kota. Selain itu, tidak akan ada lagi sekolah yang tidak dapat beroperasi karena tidak ada murid, dan mungkin masih banyak lagi hal positif yang mengikutinya. Karena sejatinya peraturan dibuat bukan untuk membatasi hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan setara, namun ditujukan untuk pemerataan kualitas dan pemerataan hak, meskipun saat ini terasa merugikan bagi banyak pihak (termasuk anak saya tentu saja). Kita tunggu saja bagaimana implementasi dan dampak yang terjadi, sambil berdoa tentu saja, yang terbaik bagi anak-anak kita semua. SEMOGA. oya satu lagi, untuk membesarkan hati anak saya, begini jawaban saya kemaren: tenang aja dik, sekolah SMA dimana aja sama karena yang utama adalah diri kita sendiri, justru nanti adik bisa makin "moncer" di SMA yang (dinilai) biasa-biasa aja karena mungkin temennya yang pinter-pinter gak sebanyak di sekolah favorit, selain itu juga yang penting adalah nanti kuliahnya di Kedokteran UNAIR (aamiiin yra).
Surabaya, Jumat 19 April 2019, 08.19
Subscribe to:
Posts (Atom)