2015 |
Hobi menulis saya kembali terusik sejak beberapa bulan terakhir, namun karena kendala-kendala teknis seperti lupa password, lupa cara buka akun, gaptek, gak paham gadget dsb. dsb., keinginan menulis jadi teralihkan. Pagi ini, lagi-lagi karena baca tulisan seorang kawan di akun medium-nya, saya jadi "berusaha keras" untuk membuka kembali blog saya yang sudah lama mati suri, dan semoga pagi ini menjadi penanda kembalinya saya di dunia blogger :)
Saya gak akan menulis tentang hiruk pikuk Pilpres dan pernik-perniknya, karena saya lebih tertarik berbicara tentang pendidikan, terutama pendidikan anak-anak saya yang masih di usia SD, SMP dan SMA. Beberapa waktu lalu saat saya mengantarkan si ganteng anak ke-2 berangkat sekolah, dengan wajah kecewanya si ganteng saya bilang: sekarang masuk SMA pake zonasi bu, aku lak gak bisa masuk SMA 2. Sekedar info saja, anak saya yang ke-2 ini cita-citanya jadi dokter yang pemain gitar, dan menjadi sangat terobsesi masuk SMA 2 yang merupakan salah satu sekolah SMA favorit di Surabaya dan notabene "ngetop" dengan kegiatan bermusik (sekolahnya penyanyi maupun pemusik ngetop seperti Ita Purnamasari, Dhani Ahmad, dll. - sepertinya kok saya cuma tau 2 itu ya :D). Dengan adanya Permendikbud No. 51 tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada TK, SD, SMP, SMA/ SMK, salah satunya adanya aturan penerimaan SMA yang tidak lagi mengacu nilai UN tapi berdasarkan jarak rumah dengan sekolah yang dibuktikan dengan alamat KK. Sehingga, anak-anak yang ortunya beralamat di "pinggiran" tidak bisa menikmati sekolah di "pusat" kota seperti SMA 2. Walaupun sampai saat ini belum ada kejelasan dan kepastian tentang pelaksanaan PPDB 2019, namun hal tersebut sudah menimbulkan keresahan di kalangan calon siswa dan terutama juga orang tuanya. Di sekolah anak saya SPENSIXpun demikian, meskipun anak saya masih duduk di kelas 8 (kelas 2 SMP), namun di setiap kesempatan temu ortu - baik yang dijadwal maupun tidak sengaja saat sama-sama menjemput di sekolah - topik PPDB zonasi ini menjadi pembicaraan utama. Terutama untuk para ortu yang KK nya di luar pusat kota yang tentu saja tidak masuk zonasi sekolah SMA favorit a.k.a. SMA kompleks.
Saya pribadi sebetunya sangat setuju dengan wacana pelaksanaan sistem PPDB zonasi ini, karena idealnya semua sekolah mempunyai "level" yang setara, tidak perlu ada sekolah favorit sehingga tidak perlu ada perebutan bangku sekolah, karena setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk bersekolah dan negara/ pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyediakan kualitas pendidikan yang sama (walaupun sulit). Namun, saat ini merk sekolah favorit masih menjadi target utama calon siswa, mengingat belum semua sekolah mempunyai kapasitas, fasilitas dan kualitas yang sama. Sehingga keresahan akan tidak dapat masuk di sekolah yang berkualitas - dan tentu saja bergengsi - menjadi salah satu pemicu penolakan atas peraturan baru PPDB ini, bahkan kami para ortu juga dengan sukarela ikut menandatangani petisi yang menyampaikan aspirasi calon siswa kepada pihak penentu kebijakan, yang tentu saja tidak menjamin dibatalkannya peraturan PPDB zonasi. Meskipun saya juga sebetulnya berharap anak saya bisa masuk ke SMA yang diinginkannya, terlepas apapun alasan yang mendasarinya.
Seperti pada umumnya aturan baru yang akan diberlakukan, huru-hara yang ditimbulkan terutama karena tidak ada sosialisasi yang jelas di awal, sehingga terasa sangat mendadak diimplementasikan dan mengakibatkan shock bagi komunitas yang terdampak. Namun saya juga sangat yakin, setelah berjalan 1 atau 2 periode, semua akan menjadi normal dan tidak ada yang merasa dirugikan. Sebagai gambaran, saat ini anak ke-2 saya yang sekolah di SPENSIX yang merupakan salah satu SMP favorit, harus berangkat sebelum pukul 6 pagi karena jarak rumah sekolah yang cukup jauh (9,8 km - google map) dan melewati jalan-jalan utama yang rawan macet, sedangkan di dekat rumah terdapat SMP lain yang jaraknya hanya 5 km dengan rute yang sangat aman dari risiko macet. Dan ternyata, kawan-kawan sekolahnya pun sangat beragam lokasi tempat tinggalnya, bahkan ada yang rumahnya di kawasan Sidoarjo, bisa dibayangkan pukul berapa harus berangkat dari rumah bisa jadi saat matahari masih setengah mata. Sehingga peraturan PPDB zonasi ini tentu akan banyak manfaatnya selain jarak tempuh rumah-sekolah yang dekat, tentunya akan menghemat tenaga/ energi dan biaya, anak menjadi lebih fresh tiba di sekolah, selain itu juga nantinya akan meningkatkan pemerataan kualitas sekolah, mengingat "murid-murid yang pinter" gak hanya terkonsentrasi di sekolah favorit, namun tersebar merata di seluruh penjuru kota. Selain itu, tidak akan ada lagi sekolah yang tidak dapat beroperasi karena tidak ada murid, dan mungkin masih banyak lagi hal positif yang mengikutinya. Karena sejatinya peraturan dibuat bukan untuk membatasi hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan setara, namun ditujukan untuk pemerataan kualitas dan pemerataan hak, meskipun saat ini terasa merugikan bagi banyak pihak (termasuk anak saya tentu saja). Kita tunggu saja bagaimana implementasi dan dampak yang terjadi, sambil berdoa tentu saja, yang terbaik bagi anak-anak kita semua. SEMOGA. oya satu lagi, untuk membesarkan hati anak saya, begini jawaban saya kemaren: tenang aja dik, sekolah SMA dimana aja sama karena yang utama adalah diri kita sendiri, justru nanti adik bisa makin "moncer" di SMA yang (dinilai) biasa-biasa aja karena mungkin temennya yang pinter-pinter gak sebanyak di sekolah favorit, selain itu juga yang penting adalah nanti kuliahnya di Kedokteran UNAIR (aamiiin yra).
Surabaya, Jumat 19 April 2019, 08.19
No comments:
Post a Comment