Sunday, March 30, 2014

Kurikulum 2014



Menjelang pergantian kurikulum 2014, kesibukan penyusunan kurikulum baru yang dimotori oleh tim kurikulum jurusan sudah hampir sampai ke ujungnya. Tentu dengan pro dan kontra disana sini, banyak kepala dengan berbagai ide masing-masing, yang semuanya bertujuan sama: untuk kemajuan dan peningkatan kompetensi lulusan, meskipun dengan pendapat dan cara yang berbeda (ada yang cukup bertanya2 dan “berbicara” dalam hati maupun yang lantang menyuarakan pendapatnya di milis dan media sosial lain karena merasa tidak mendapat respon yang diharapkan melalui komunikasi langsung dengan para pengambil kebijakan).


Topik yang saat ini sedang hangat diperbincangkan adalah pendegradasian beberapa mata kuliah dari “status” wajib menjadi “hanya” pilihan. Kata “hanya” sengaja saya beri tanda kutip untuk menunjukkan perbedaan persepsi yang disebabkan oleh satu kata tersebut. Pada saat pertama kali mengetahui “turun”nya status (dari yang diwajibkan menjadi mk pilihan – yang boleh diambil maupun tidak sesuai dengan minat masing-masing) salah satu mata kuliah dengan tugas besar perencanaan….terus terang saya bertanya2….apakah mungkin ada mahasiswa yang mau “mempersulit” diri sendiri dengan mengambil mata kuliah pilihan yang dilengkapi tugas perencanaan. Saya ingat pengalaman pribadi pada saat kuliah S1, mengambil mata kuliah pilihan berdasarkan tingkat “kemudahan” nya, alias yang tanpa tugas menggambar. Dan pilihan tersebut dilakukan oleh sebagian besar mahasiswa di angkatan saya, meskipun dengan berbagai alasan resmi yang berbeda, tapi kalau mau jujur alasan utama kami semua adalah memilih mata kuliah yang pasti2 aja lulusnya dan ga nambah2in beban tugas yang sudah bertumpuk2 pada mata kuliah wajib. Saat itu tidak terpikir akan mengambil mata kuliah pilihan yang “laku di pasar dunia kerja”. Saya sempat sedikit berdiskusi ringan dengan rekan dosen sekamar saya mengenai apa pertimbangan tim kurikulum maupun para dosen yang pro dengan perubahan tersebut, namun saat itu kami berdua tidak dapat menemukan alasan lain yang menguatkan untuk menjadikan MK tersebut sebagai mata kuliah pilihan, selain menyimpulkan bahwa mungkin MK tersebut dinilai tidak harus menjadi kompetensi lulusan TL. Karena – masih menurut pendapat saya pribadi – dengan berubahnya status dari wajib menjadi pilihan, memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk memutuskan tidak mengambil MK tersebut, yang saya yakin karena tingkat kesulitan dan beban tugas perencanaan yang menjadi syarat kelulusan MK tesebut, akan banyak mahasiswa yang tidak berpikir untuk mempertimbangkan MK ini sebagai pilihan utamanya (mudah2an pendapat saya ini salah).

Namun berbeda dengan pendapat tersebut, belakangan saya baru membaca, dari reply e-mail di milis dosen yang menjelaskan mengenai pertimbangan “degradasi” status MK tersebut. Selama ini secara disadari atau tidak, mata kuliah pilihan menjadi MK pelengkap penderita saja, maka pada kurikulum baru yad, mahasiswa diwajibkan memilih mata kuliah pilihan yang sebidang dan mendukung topik tugas akhir yang nanti akan dipilih sebagai bidang keahliannya. Dengan demikian mata kuliah pilihan akan sama pentingnya dengan mata kuliah wajib, mahasiswa dituntut untuk benar-benar mempertimbangan MK yang dipilih karena berhubungan dengan topik Tugas Akhir. Pilihan tidak hanya berdasarkan pertimbangan populer yaitu diantaranya kemungkinan besar bisa lulus dg mudah, nilai kelulusan baik (A atau AB) (– kedua pertimbangan ini pada umumnya dilihat dari siapa dosen yang mengampu MK tsb) serta tidak ada tugas perencanaan yang menyita waktu dan tenaga (karena harus asistensi) serta menambah beban semester. Alasan yang menurut saya sangat dapat diterima, namun tentu dengan berbagai konsekuensi yang harus ditanggung oleh mahasiswa. Pada kondisi tersebut, mahasiswa dituntut untuk dapat memilih bidang keahlian yang sesuai minatnya, sejak semester awal dimana mata kuliah pilihan harus diambil, yang saya cukup yakin hal tersebut akan sulit bagi mereka, karena pada semester awal tahun perkuliahan  MK yang diberikan adalah MK dasar dan MK umum, sedangkan MK bidang belum banyak yang diturunkan, dengan demikian belum cukup bekal mahasiswa untuk dapat menentukan minatnya akan satu bidang keahlian tertentu. Dan bisa jadi setelah bertambahnya MK bidang yang mereka ikuti, peminatan terhadap bidang keahlian menjadi berubah, namun sudah terlanjur lulus mata kuliah pilihan di bidang lain. Hal lain yang mungkin terjadi adalah adanya MK-MK yang menjadi “tuntutan pasar dunia kerja” saat ini diletakkan dalam kelompok mata kuliah pilihan pada bidang tertentu yang belum tentu dapat dipilih oleh mhs karena keterbatasan SKS (meskipun mhs diperbolehkan memilih 1 mata kuliah pilihan di luar bidang keahlian yang diminatinya).

Terlepas dari semua pro kontra yang terjadi, selalu akan ada efek positif dan negatif dari setiap pilihan dan keputusan yang akan diambil. Namun ada baiknya bila kita semua berusaha untuk memfokuskan diri pada hal-hal positif terhadap kurikulum 2014 yang akan diterapkan nantinya. Adalah tidak mudah untuk mengakomodasikan dan lebih lagi memuaskan setiap pendapat dan kepentingan dari banyak orang, dosen, mahasiswa maupun stake holder. Namun tentunya tim kurikulum yang dipilih oleh para dosen dan KPJ sudah berupaya untuk merangkum semua masukan melalui berbagai tahapan penyusunan kurikulum 2014 (yang setahu saya juga melibatkan para dosen, mahasiswa dan alumni). Kekurangan-kekurangan atau kelemahan-kelemahan yang pastinya masih akan muncul dalam penerapan kurikulum tersebut, dapat  dicari jalan keluarnya melalui komunikasi diantara para pengambil kebijakan, penyusun kurikulum, dosen pengampu MK, mahasiswa maupun alumni. Demikian pula peran dosen wali dalam membimbing mahasiswa untuk dapat memilih MK yang sesuai dengan minat dan kebutuhan dunia kerja dapat ditingkatkan, sehingga dosen wali tidak hanya berfungsi sebagai tukang pencet tombol klik permanen tiap awal semester.


Semoga “hiruk-pikuk” kurikulum 2014 segera berakhir dengan penyelesaian yang melegakan semua pihak.  Karena pada prinsipnya, seperti yang sudah tertulis di awal tulisan ini, semua bertujuan sama yaitu untuk meningkatkan kompetensi lulusan dalam dunia kerja sesuai visi dan misi jurusan. Terlepas dari itu semua, bagaimanapun wajah baru kurikulum 2014 nantinya, pelaksanaan kurikulum baru tersebut adalah hal  tak kalah pentingnya….karena sebagus apapun kurikulum yang disusun, tidak akan ada artinya bila tidak didukung oleh “isi materi” dan “penyampaian” yang bagus J…… Oleh karenanya, mungkin sudah saatnya kita (baca: para dosen) menghentikan segala hiruk pikuk pro dan kontra penyusunan kurikulum dan segera mengalihkan energi dan ide-ide untuk membuat “terjemahan”  kurikulum tersebut agar sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

Tidak ada MK yang sulit dan “tidak menarik”, karena tantangan  yang lebih sulit adalah membuat MK sulit dan tidak menarik menjadi MK yang disukai (baca: menarik) bagi mahasiswa.


Selamat menyambut Kurikulum 2014……VIVAT TL - ITS

Surabaya,  30 Maret 2014

Monday, March 24, 2014

Kembali ke RUMAH

Setahun lebih tidak menulis....tiba-tiba kemaren sore selepas kelas "Teknik Remediasi Lingkungan" salah seorang mahasiswa menyapa dan bertanya, "Ibu ga nulis lagi bu?"...."saya mengikuti tulisan-tulisan ibu di blog dan paling suka sama tulisan ibu yang berjudul Ukuran Sebuah Prestasi"......  :) sedikit terkejut dan senang pasti karena ada yang mengapresiasi tulisan saya, tapi yang lebih dari itu adalah seperti diingatkan kembali dengan niat awal menulis di blog, yaitu menuangkan semua yang ada di dalam hati dan pikiran saya tentang semua topik yang menarik bagi saya dan mungkin juga bagi orang lain, dengan harapan akan bermanfaat bagi saya dan siapapun yang membaca.

Saat ini memasuki minggu ke-7 perkuliahan di kampus saya, minggu yang sibuk dengan ujian proposal Tugas Akhir dan Tesis....tidak ada yang istimewa sebenarnya dibandingkan dengan ujian-ujian sebelumnya, hanya saja pada periode ini, saya membimbing lebih banyak TA dan Tesis yang mencapai 6 judul, dibandingkan semester lalu yang "hanya" 2 judul. Dengan meningkatnya judul proposal yang saya bimbing, terpikir oleh saya bagaimana ke-6 mahasiswa yang saya bimbing tersebut harus mengatur jadual analisis sampel di laboratorium, dikarenakan keterbatasan peralatan yang tersedia. Bukan itu saja permasalahan yang kami (saya sbg pembimbing dan ke-6 mahasiswa bimbingan saya), beberapa parameter tidak dapat dianalisis karena tidak tersedia peralatan yang diperlukan :). Hal yang sama juga pasti dialami oleh rekan2 dosen dan mahasiswa yang lain, termasuk kawan seruangan saya, yang kebetulan saya sebagai dosen penguji anak bimbingannya . 

Tidak dapat dihindari (dan saya yakin hal ini juga terjadi pada rekan2 dosen lain yang baru kembali dari sekolah) - tanpa bermaksud mengecilkan keadaan lab saat ini - saya membandingkan dengan fasilitas lab di UKM, tempat dimana saya beraktivitas akademik selama 4 tahun terakhir, dimana semua dapat "menemukan" peralatan yang diperlukan untuk analisis parameter yang akan dilakukan. Alat yang "tidak ada" pun dapat segera menjadi "ada" apabila kita butuhkan, cukup dengan "order alat" kepada research officer yang bertugas di lab, dan tidak terbatas pada alat habis pakai saja, tetapi termasuk instrumen2 analisis yang berhubungan dengan riset yang dilakukan.

Apapun keadaannya, proposal mahasiswa yang sudah lolos ujian, harus segera dilaksanakan dan mulai dikerjakan serta diselesaikan dengan segala keterbatasan yang ada. Keterbatasan akan membuat manusia lebih kreatif dalam menyelesaikan permasalahan, apabila kita melihatnya dari sisi positif, dan bukan menjadi hambatan untuk menyelesaikan apa yang harus dikerjakan. Keterbatasan yang ada membuat kami semua harus berpikir lebih keras dan berusaha mencari alternatif analisis yang memungkinkan untuk dilakukan sebagai parameter penelitian, membuat kami harus (dengan keterpaksaan maupun dengan kerelaan :D) membaca lebih banyak literatur sebagai referensi, dan yang pasti membuat kami harus bekerja lebih keras. Tidak ada yang tidak mungkin untuk dilakukan, asal ada niat yang kuat untuk menyelesaikan penelitian sebagai syarat kelulusan mhs. Namun tidak dapat dipungkiri, untuk dapat menghasilkan paper atau makalah yang layak dipublikasikan dalam skala jurnal internasional, tentunya diperlukan peralatan/ instrumen yang memadai dan sesuai standar analisis parameter yang berlaku, yang tentu tidak cukup hanya sekedar menggunakan teknik analisis dengan "menyesuaikan" ketersediaan alat yang instrumen yang ada :).Harapan kita semua tentunya suatu saat nanti fasilitas-fasilitas lab di kampus-kampus yang ada di Indonesia, menjadi semakin lengkap dan dapat menghasilkan karya-karya penelititian yang mampu bersaing dengan hasil penelitian dari negara lain. Namun kemajuan yang diharapkan harus tetap diiringi dengan kesiapan mental dan kesungguhan niat untuk terus berkarya, karena seringkali terjadi...kemudahan-kemudahan yang ada dapat membuat kita semua terlena dan manja sehingga harapan untuk dapat mensejajarkan diri dalam karya ilmiah dengan negara2 lain yang sudah di depan kita, bukan hanya menjadi harapan yang tidak berujung pada kenyataan.

Last but not least.....apapun keadaannya, bagi saya pribadi kembali ke "rumah" tetap hal paling membahagiakan yang saya rasakan. Dapat kembali beraktivitas akademis di kampus tercinta ITS meskipun dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, tidak menjadikan saya ingin memperpanjang masa tinggal saya melalui program postdoc di tempat lain saat ini. Berada di dalam kelas untuk berdiskusi dan membagi pengetahuan bersama mahasiswa2 masih menjadi prioritas pilihan saya, akan tetapi harapan untuk suatu saat nanti dapat mempunyai dan menikmati serta memanfaatkan fasilitas lab yang lengkap di kampus ini bukan berarti harus dilupakan. VIVAT TL ITS :)

Surabaya, 25 Maret 2014

Note: Thanks to Cici (mhs S2 TL angkatan 2013/2014) for appreciating my post :)