Friday, March 9, 2012

Friend from all around the world

This weekend become the last weekend before i am leaving, and i spend it with my best friend Israa from Iraq. This actually not the first time i spent weekend at her house, but not as usual, busy with academic activity such as writing paper, writing thesis, make preparation for presentation and so on, at this time i learned many things from Israa, about what do Iraqi women do.... :) very amazing experience Israa, hopefully next time i can learn much more from you....and hopefully i can come to visit you in your country in the next few years..


Best friend forever...
Juta Mines Condominium, Serdang
March 10, 2012

Thursday, February 16, 2012

ukuran sebuah "prestasi"


Seorang kawan baik membagikan link note dengan judul “Apakah anakku harus jadi ranking 1?” http://bit,ly/zj48MU. Baru membaca judulnya saja saya langsung jawab: saya ga pernah menuntut anak2 untuk jadi no 1 di sekolah…karena itu bukan yang hal terpenting bagi saya. Namun demikian, note tersebut tetap saya baca, karena saya yakin selalu ada manfaat dari setiap hal, sekecil apapun. Setelah saya baca, saya forward link tersebut kepada beberapa kawan lain untuk sekedar berbagi kebaikan.
Bagi saya, nilai yang tercantum di raport hanyalah angka2 kuantitatif, dan hanya bisa menilai hal-hal yang kuantitatif tentunya, sedangkan bagian terpenting yang kualitatif tidak dapat dikuantifikasikan dan ditransfer dalam ranking. Kebanyakan orang tua lupa atau bahkan tidak menyadari, ada hal lain yang lebih penting daripada “hanya” ranking yang tercantum di dalam raport – setahu saya, saat ini di raport sudah tidak dicantumkan lagi urutan ranking – sedemikian pentingnya nilai raport seakan-akan dapat dijadikan jaminan untuk bisa mendapatkan kesuksesan di masa yang akan datang.
Kawan lain mengirimkan pesan singkat sebagai reply dari share link yang saya forward, kalimat yang saya ingat: aku konsisten ranking 10 besar dari bawah waktu smp-sma, but look what I become right now? I couldn’t be happier than what I am today, pengusaha sukses dalam usia yang relatif muda, dan tentu saja tidak ada kata gagal dalam kamusnya meskipun ga pernah ngincipi ranking 1.
Adalah hal yang wajar, sebagai orang tua ingin hal yang terbaik bagi anak mereka, dan juga disadari atau tidak, diakui maupun tidak, pasti juga berharap anak mereka jadi yang terbaik atau setidaknya punya hal yang bisa membanggakan….meskipun ukuran yang menjadi kebanggaan itu sangat relatif bagi setiap orang, namun ada kesepakatan tidak tertulis yang seringkali jadi ukuran: nilai raport dan ranking yang tertulis disitu. Seringkali terlewatkan bahwa banyak hal lain di luar penilaian dalam angka di raport yang jauh lebih penting dalam perjalanan dan pelajaran hidup anak mereka.
Seringkali orang tua hanya berpegang kepada ukuran umum, bahwa kesuksesan ialah hanya bila anak keliatan moncer secara akademik, atau paling tidak, punya prestasi lain dengan stempel juara, itulah ukuran prestasi yang bisa dibanggakan. Namun tidak memberikan perhatian untuk hal-hal lain yang tidak umum dijadikan ukuran prestasi. Kebanggaan kita sebagai orang tua, hanya berpegang pada prestasi umum yang terukur oleh kebanyakan orang.
Disadari atau tidak, walaupun pada awal cerita diatas saya katakan bahwa saya tidak menuntut anak-anak saya untuk jadi yang nomor 1, harus saya akui bahwa keinginan tersebut juga ada pada diri saya….anak saya punya prestasi akademik yang jempolan dan punya prestasi lain yang bisa dibanggakan. Rasa sedih, khawatir atau panik muncul bila mendengar berita bahwa anak2 saya harus ikut remedy atau mendapat nilai “jelek” dalam evaluasi di sekolah, perasaan-perasaan tersebut tentunya merupakan sinyal bahwa “tuntutan” itu ada pada saya.
Note pada link diatas, seakan mengingatkan saya, bahwa meskipun saya mengatakan tidak menuntut anak2 saya  untuk menjadi nomor 1, tapi kenyataan yang saya lakukan justru sebaliknya. Saya memilih sekolah dasar yang pengantarnya berbahasa inggris….supaya anak2 saya lancar berbicara bahasa inggris  meskipun alasan yang tertulis adalah agar anak-anak saya kelak tidak kesulitan dengan kemajuan yang menuntut kemampuan mereka berbahasa inggris, namun bangga punya anak yang “kecil-kecil bisa ngomong inggris dengan lancar” rasanya juga jadi salah satu alasan kuat
io, anak pertama saya, saya ikutkan les musik sejak usianya 4 tahun – mungkin bagi anak2 yang orang tua mereka pemain musik bukan hal yang aneh – tp anak-anak saya terlahir dari orang tua yang bukan pemusik meskipun dulu bapaknya sempat merasakan malang melintang di panggung-panggung musik kampus. Saya renungkan kembali alasan tidak tertulis les musik buat io mungkin karena obsesi orang tuanya yang menginginkan io jadi pemain musik yang beneran, bukan sekedar untuk bisa.
Kedua anak saya, io dan jati yang sudah duduk di bangku SD juga saya ikutkan les matematika, yang pada awalnya juga saya hanya menuruti permintaan mereka…(io lebih dulu dan kemudian adiknya menyusul). Tapi piala pertama io karena kemahirannya mengerjakan soal2 matematika, justru membuat saya terobsesi untuk mengumpulkan piala2 yang lebih banyak lagi – meskipun saya tidak menuntut – tapi kalimat saya: “kalo rajin nanti pialanya tambah lagi nak”, rasanya sudah cukup menjelaskan tuntutan saya, yang entah disadari atau tidak oleh saya dan io, memberikan tambahan beban di pundaknya. Dan tidak itu saja, jati yang “belum” merasakan mendapat piala seringkali mengucapkan kalimat: “pialaku belum ada” atau “aku juga mau piala”.
Tiga hal di atas, setidaknya bisa menjadi suatu catatan bagi diri saya sendiri, bahwa banyak hal yang tidak saya sadari sebelumnya - dan mungkin juga terjadi pada orang tua lain – bahwa saya “merasa” tidak menuntut anak2 untuk punya prestasi yang membanggakan sesuai ukuran umum, ternyata justru saya lakukan hal yang sebaliknya. Saya cenderung mengarahkan anak2 saya kepada hal-hal kuantitatif dan dapat dinilai sebagai suatu prestasi.
Sampai saat ini saya tidak melihat adanya suatu keterpaksaan dalam diri anak2 saya untuk melakukan semua kegiatan mereka (meskipun io juga kadang2 latihan musik sambil merengut), dan belum pernah saya dengar keluhan mereka atau keberatan mereka terhadap semua kegiatan yang mereka “pilih”, pun tidak saya lihat terjadinya penurunan berat badan dan kesehatan seperti cerita dalam note diatas. Namun membaca cerita tersebut membuka pikiran dan hati saya, untuk lebih jujur mengakui bahwa sekalipun saya merasa tidak menuntut anak2 untuk menjadi yang nomor satu, tapi saya mulai membebani mereka dengan suatu keharusan: harus bisa bahasa inggris, harus bisa main musik, harus pinter matematika.
Keharusan-keharusan tersebut memang bermuara kepada “sebagai bekal mereka kelak”, tapi kedepannya tidak boleh saya lupakan, banyak hal-hal lain yang harus lebih mendapat prioritas dan jadi ukuran dan target bagi saya untuk mempersiapkan anak2 saya kelak. Hal-hal yang bukan prestasi bagi ukuran umum dan tak kalah pentingnya bagi hidup mereka kelak…..
*anak-anakku, menjadi nomor 1 bidang akademik atau prestasi lain memang membanggakan bagi ibu, tapi tanpa itu semua, kalian tetap anak2 yang sudah membuat ibu bangga pada kalian, mudah2an ibu bisa menjadi ibu yang terbaik buat kalian…..selamanya.

Just prepare your children to be themselves...
Thanks to: Dedy Ardyan for sharing link-note 

Taman Tenaga C111
13 februari 2012

Monday, February 6, 2012

Dimanakah INDONESIA?

Beberapa hari lalu, seorang kawan men-tag akun fb saya pada gambar yang dipostingnya. Gambar yang diposting ialah gambar “peta” negara-negara top 40 dalam hal jumlah publikasi paper pada jurnal internasional sepanjang tahun 2011.
Sebagai warganegara Indonesia, tentu saja yang ingin saya temukan pada gambar tersebut adalah tulisan “INDONESIA” yang sayangnya tak tampak walaupun mata saya melotot sebesar-besarnya L, kecewa pasti, tapi yang lebih terasa adalah sedihnya…..terlebih lagi setelah saya baca: Thailand, Singapore, Malaysia…..negara-negara tetangga yang jaraknya boleh dibilang hanya selangkah kaki dari Indonesia, dapat mempublikasi paper pada jurnal internasional sampai mencapai angka 5190, 8768 dan 6565 sepanjang tahun 2011.
Indonesia, jumlah penduduk Indonesia 231.641.326 (Badan Pusat Statistik Indonesia - www.bps.go.id)  jauh diatas jumlah penduduk Thailand, Singapore dan Malaysia, dan bahkan bila dibandingkan dengan total jumlah penduduk ketiga Negara tersebut, jumlah penduduk Indonesia masih jauh lebih besar. Jumlah penduduk Thailand pada 2000 sebesar 62.400.000 (National Statistical Office Thailand - http://web.nso.go.th),  jumlah penduduk Singapore 3.771.000 (resident) atau  total populasi 5.077.000 (Department of Singapore Statistic – www.singstat.gov.sg) dan jumlah penduduk Malaysia tahun 2010 ialah 27.565.821 (Jabatan Perangkaan Malaysia – www.statistic.gov.my/portal).
Perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia - dengan kualitas yang baik  dan jumlah yang tak kalah dengan ketiga negara tetangga tersebut -  juga menjadi salah satu modal utama bagi Indonesia. Bagaimana mungkin dengan sumber daya manusia yang jumlahnya jauh lebih besar dan dengan kemampuan akademis yang PASTI tidak kalah dibandingkan dengan Negara-negara lain, nama Indonesia tidak muncul dalam gambar top 40 tersebut? Kemana hasil penelitian yang dilakukan para peneliti maupun akademisi di universitas2 yang ada? Publikasi pasti sudah dilakukan, namun mungkin hanya terbatas pada jurnal lokal maupun jurnal nasional, dan masih sangat terbatas jumlah paper yang dikirim ke jurnal internasional.
Pertanyaan yang harusnya kita tujukan pada diri sendiri – kalangan akademisi (maaf, karena pertanyaan tersebut juga saya arahkan pada diri saya sendiri) -  apakah kendala utama yang menghambat kita untuk melakukan publikasi ilmiah pada skala internasional? Jawaban utama yang pasti akan muncul pada umumnya adalah :dana J, meskipun kalau kita mau jujur pada diri sendiri, bukan masalah itu yang menyebabkan kita “enggan” untuk mengirimkan karya tulisan kita ke jurnal internasional. Karena kenyataannya kalaupun tersedia dana, belum tentu kita gunakan dana tersebut untuk publikasi ilmiah. Apabila biaya yang harus dikeluarkan untuk publikasi ilmiah di jurnal internasional ialah US$50 per halaman, bila paper terdiri dari 10 halaman maka dana yang harus disediakan sebesar US$500 per paper – pengalaman pribadi. Jumlah yang tidak begitu besar bila dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh, baik untuk pribadi, untuk instansi yang kita wakili maupun untuk memberikan kontribusi terhadap kemunculan nama INDONESIA pada gambar peta di atas.
Menurut pendapat saya pribadi, belum terbentuknya budaya publikasi ilmiah internasional lah yang menjadi penyebab utama rendahnya publikasi ilmiah Indonesia di kancah internasional. Suasana yang jauh berbeda saya rasakan saat ini di kampus UKM – Malaysia, bukan hanya mahasiswa yang memang diwajibkan untuk mempublikasikan papernya di jurnal internasional sebagai salah satu syarat kelulusan untuk tingkat Master dan Doktoral, tetapi juga dosen-dosennya berlomba2 menulis paper untuk publikasi internasional. Salah seorang pembimbing saya bahkan mentarget dirinya sendiri untuk dapat mempublikasi paper di jurnal internasional sebanyak 4 paper selama 9 bulan masa cuti sabatikalnya.
Saat ini, sebagai mahasiswa di UKM – Malaysia, saya juga berkewajiban menulis paper dan mempublikasikannya di jurnal internasional, sampai tahun ke-3 masa studi saya, paper yang sudah saya tulis berjumlah 8 judul. 3 buah paper sudah dimuat di jurnal dan 3 judul paper saya presentasikan dalam konferensi internasional, jumlah ini masih kalah jauh dibandingkan kawan se-lab saya (Malaysian) yang sudah menulis 20 judul selama 3 tahun masa studinya, dengan 10 judul sudah dipublikasi dalam jurnal, dan 6 judul dipresentasikan dalam konferensi internasional. (….hehehe….padahal menurut saya, sangat banyak waktu yang saya habiskan untuk “labworking and papering” tak kalah banyaknya dengan waktu yang dihabiskan oleh kawan saya tersebut). Academic atmosphere yang terasa di kampus memang berbeda, tiap kali berpapasan dengan dosen pembimbing maupun co-pembimbing, pertanyaan yang diajukan ialah: sudah berapa paper yang kamu tulis? Bukan hanya: sampai dimana tahap penelitianmu? Itu artinya, menulis atau mempublikasikan hasil riset….sama penting atau bahkan lebih penting dibandingkan riset itu sendiri. Karena itu, publikasi menjadi target utama pada saat riset dirancang dan dilaksanakan, hal itu yang seringkali terlewat dari pusat perhatian saya saat saya melakukan penelitian di Indonesia. Karena kebanyakan penelitian saya hanya berujung pada buku laporan penelitian yang nantinya ditumpuk di lemari perpustakaan (beruntung saat ini perpustakaan ITS sudah dapat diakses online – sehingga buku hasil penelitian tidak hanya menjadi penghuni tetap rak buku yang bahkan tebal debunya bisa jadi lebih tebal daripada jumlah halaman dalam buku laporan tersebut).
Menulis paper dan kemudian berusaha mempublikasikannya, sudah harus menjadi satu kewajiban  dalam setiap pelaksanaan penelitian, sebelum akhirnya mengirimkan paper ke jurnal berskala internasional menjadi suatu budaya di kalangan peneliti dan akademisi. Toh dengan segala kemudahan teknologi saat ini, paper submission cukup dilakukan dengan ujung jari dan jaringan internet, sangat mudah dan tanpa biaya pengiriman, hanya niat dan kemauan yang diperlukan serta semangat untuk terus mencoba memperbaiki dan mengirimkan kembali paper yang rejected sampai akhirnya dapat dimuat dalam jurnal.
Semoga semangat menulis dan mempublikasi (beserta segala kesulitan dan kegagalannyaJ) yang ada saat ini, akan tetap melekat dalam diri saya nanti setelah saya kembali ke kampus tercinta ITS, untuk dapat berkontribusi memunculkan nama Indonesia  dalam gambar peta diatas, sehingga suatu saat nanti kita bisa melihat INDONESIA tanpa harus memelototkan mata.

Taman Tenaga C111 - 06022012

Ucapan terima kasih kepada: Bpk. Djoko Budiyanto – Atmajaya Jogjakarta, yang telah tag akun fb saya dengan gambar diatas.