Sunday, May 12, 2019

PPDB 2019 (Jilid 2)

Masih tentang hiruk pikuk PPDB 2019, setelah tulisan saya sebelumnya terkait PPDB berdasarkan zonasi, perkembangan terbaru (info terbaru tentang PPDB 2019) mengenai PPDB zonasi mengalami sedikit perubahan, yaitu masih berlakunya sekolah khusus (yang pada PPDB sebelumnya dikenal sebagai sekolah kawasan). Seperti PPDB sebelumnya, metode penerimaan sekolah khusus tingkat SMP ini juga menggunakan nilai Tes Potensi Akademik (TPA) selain nilai UNAS, dengan prosentase yang belum ditentukan. Sedangkan untuk SMA, metode penerimaan kembali seperti 2 tahun terakhir yaitu menggunakan nilai UNAS, dan calon siswa boleh memilih salah satu sekolah di luar zona tempat tinggalnya. Hiruk pikuk kembali terjadi, terdapat yang pro dan kontra terhadap pengembalian aturan penerimaan siswa ini, pro bagi yang alamat tempat tinggalnya berada di luar zona sekolah-sekolah favorit, dan kontra bagi yang sebaliknya, karena merasa diuntungkan dengan adanya peraturan zonasi :)

Saya pribadi tidak ambil pusing dengan perubahan-perubahan mendadak yang dilakukan oleh pengambil kebijakan, mengingat kedua metode PPDB tersebut sama-sama mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing, dan tentu saja dapat menguntungkan maupun merugikan bagi anak-anak saya yang masih akan memasuki jenjang SMP (tahun ini) dan SMA (tahun depan). Namun tetap saja perubahan tersebut membuat saya kalangkabut mencari lembaga kursus untuk mempersiapkan anak bungsu saya menghadapi TPA yang mungkin diperlukannya bila nilai UNAS yang didapat mencapai rata-rata 8,5. Lembaga kursus TPA pun seperti mendapat angin segar dan segera melancarkan aksi propagandanya melalui berbagai media sosial. Berbagai penawaran  bersliweran memenuhi grup-grup medsos orang tua calon siswa, dengan berbagai variasi harga yang ditawarkan, namun dari berbagai variasi tersebut ada satu kesamaan yaitu sama-sama mahal untuk ukuran rata-rata orang tua, bila dibandingkan dengan biaya sekolah SD selama 1 tahun :D. Bagi sebagian orang tua yang kebetulan memiliki keleluasaan dalam hal finansial, bisa jadi kebingungan mereka hanyalah memilih lembaga kursus yang dinilai paling tepat untuk membimbing anak-anak mereka. Namun bagi sebagian lainnya, kebingungan tersebut tentu ditambah dengan menyediakan biaya kursus yang tidak murah. Mengingat TPA ini tidaklah mudah bagi anak-anak usia SD yang belum pernah menghadapi dan belum disiapkan untuk ujian TPA.

Sebagai orang tua, lagi-lagi ego saya merasa kurang "pas" dengan aturan ujian TPA ini, bukan hanya karena "keharusan" mengeluarkan biaya les, namun juga mengingat anak-anak sudah bekerja keras berbulan-bulan untuk persiapan UNAS, kenapa harus dibebani lagi dengan ujian TPA yang notabene hanya punya waktu sebulan untuk persiapannya (belum dikurangi libur puasa dan lebaran), sehingga agak kurang fair  bila penerimaan sekolah juga didasarkan pada nilai TPA ini. Selain itu, pemberitaan yang simpang siur dan perubahan metode penerimaan siswa juga membuat anak-anak sedikit mengalami kekacauan - kalau tidak boleh disebut shock - dan bingung serta kecewa, terutama yang sudah merasa diuntungkan dengan adanya sistem zonasi.

Terlepas dari semua hiruk pikuk PPDB 2019, memang harus disikapi dengan positif, karena pada prinsipnya metode zonasi cukup masuk akal untuk diterapkan dan tidak mengeksklusifkan sebagian sekolah tertentu yang masuk dalam kategori sekolah khusus, sehingga semua anak akan dapat menikmati pendidikan dengan kualitas yang sama dimanapun mereka bersekolah. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa, penerapan metode tersebut tidaklah dapat dilakukan semudah membalik telapak tangan, karena banyak yang harus dipersiapkan dengan matang sehingga tidak merugikan banyak pihak.

Surabaya, Sabtu 12 Mei 2019 pk. 18.50



No comments:

Post a Comment